Bernasindonesia.com - Presiden Soekarno pernah berkata: "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri."
Sebagai advokat dan aktivis perempuan, penulis merasa sangat terenyuh menjelang 21 April 2025 — Hari Kartini. Sebab, ada seorang perempuan Indonesia yang telah mengabdi dan memberikan kontribusi besar kepada negara, namun kini seolah "dihilangkan" dari catatan sejarah, bahkan seolah ingin "dilenyapkan."
Jika dahulu Soekarno dan Pramoedya menulis karya besar dari balik penjara, kini kita harus bertanya: “apakah perlakuan semacam itu juga layak diterima oleh seorang perempuan teknokrat tangguh di industri migas — industri yang sangat maskulin dan penuh tantangan?”
Di kalangan energi nasional, sosok ini dikenal sebagai Ir. Hj. Galaila Karen Kardinah (Karen Agustiawan) — seorang pelopor, visioner energi, dan simbol integritas. Lahir di Bandung pada 19 Oktober 1958 dari keluarga terdidik: ayahnya adalah Prof. Soemiatno MD., dokter Indonesia pertama di WHO dan Guru Besar FK UNPAD.
Sewaktu kuliah di ITB, Karen dikenal tegas, percaya diri, dan berintegritas tinggi. Prinsip hidupnya jelas: “Knowledge is power, but character is more.”
Ia meniti karier internasional di perusahaan migas kelas dunia seperti Mobil Oil Indonesia, Mobil Oil Dallas (Meptec), CGG Petrosystem, Halliburton, hingga Landmark CSI. Pada 2006 bergabung ke Pertamina, dan pada 2009 mencatat sejarah sebagai Direktur Utama perempuan pertama Pertamina.
Dalam kepemimpinannya, masyarakat mengenal Karen penuh inovasi:
- Konversi minyak tanah ke LPG yang menghemat ratusan triliun subsidi,
- Akuisisi aset migas luar negeri untuk mengurangi impor, seperti BP ONWJ, blok West Qurna (Irak), dan lapangan MLN, Ourhoud, El Merk (Aljazair).
- Peningkatan produksi dalam negeri,
- Proyek strategis seperti Donggi-Senoro LNG, FSRU Nusantara Regas, RFCC Cilacap, pipa Arun–Belawan, dan lain-lain.
Ia juga menggagas Refinery Development Master Plan (RDMP), serta membentuk War Rooms lintas divisi dan unit untuk mempercepat pengambilan keputusan strategis.
Lebih dari itu, Karen memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai pusat LNG Asia, sejalan dengan amanat Perpres No. 5 Tahun 2006. Ini bukan sekadar soal bauran energi, tetapi strategi geopolitik jangka panjang untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
Berkat kinerjanya, nilai aset Pertamina hampir dua kali lipat dan masuk daftar Fortune Global 500 tahun 2012 dan 2013, menyalip perusahaan besar dunia seperti Google, PepsiCo, Sony dan BMW. Karen pun dinobatkan sebagai 50 Most Powerful Businesswomen versi Forbes (2012) dan peringkat ke-6 Perempuan Paling Berpengaruh Dunia versi Fortune (2013).
Namun prestasi ini tak lepas dari ancaman. Pada 2018, Karen dituduh korupsi atas akuisisi saham Blok BMG di Australia. Padahal, tuduhan ini lemah secara bukti dan keliru memahami bisnis hulu migas yang memang penuh risiko dan tidak dapat dinilai dalam waktu singkat.
Hanya dua tahun sejak akuisisi, proyek dihentikan berdasarkan keputusan komisaris yang tidak memahami karakteristik sektor hulu. Dampaknya, Karen divonis 8 tahun dan denda Rp1 miliar. Setelah 555 hari ditahan, Mahkamah Agung memutuskan Karen tidak bersalah: akuisisi adalah keputusan bisnis yang sah — bukan tindak pidana.
Ironisnya, 2 tahun kemudian Karen kembali dijerat dalam kasus pengadaan LNG dari Corpus Christi, AS (SPA 2013–2014). Padahal, kontrak itu telah dibatalkan dan digantikan oleh kontrak baru (SPA-2015) yang dijalankan oleh direksi penerus. Kerugian negara justru baru terjadi di masa pandemi (2020–2021), saat Karen sudah tidak menjabat.
Meski begitu, MA dalam putusan kasasi malah memperberat vonis menjadi 13 tahun penjara dan denda Rp650 juta. Putusan ini tampak absurd, karena tak ditemukan mens rea (niat jahat) maupun actus reus (perbuatan melawan hukum), dan Karen secara faktual sudah tidak memiliki kewenangan apapun saat kerugian terjadi.
Kontrak LNG itu sendiri justru kini mencetak keuntungan sekitar USD 100 juta hingga akhir 2024, dan masih akan berlangsung hingga 2040. Karen kini bahkan telah melindungi Indonesia dari perang tarif LNG dan krisis pasokan yang mengancam ketahanan energi nasional.
Pertanyaannya: “mengapa negara tidak memberi penghargaan atas kerja keras tersebut, malah menenggelamkannya?”
Perlakuan terhadap Karen Agustiawan mencerminkan bukan semata soal politik, kekuasaan, atau tekanan eksternal — tapi juga ketidakpahaman substantif hukum oleh para aparat penegak hukum. Majelis hakim tampak hanya menjadi corong hukum, bukan corong keadilan.
Kasus Karen mengandung banyak kejanggalan, bahkan bertentangan dengan semangat UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN, Pasal 4B, yang tegas menyatakan bahwa “kerugian atau keuntungan BUMN merupakan tanggung jawab BUMN itu sendiri.”
Karen Agustiawan, sang teknokrat perempuan Indonesia, seharusnya dikenang sebagai tokoh visioner yang menjunjung integritas dan inovasi di tengah gelombang tekanan yang melandanya. Ia adalah bagian penting dari sejarah energi nasional, terutama dalam perjuangan perempuan Indonesia.
Menutup catatan ini, penulis mengutip Kartini:
"Terkadang, kesulitan harus kamu rasakan terlebih dulu sebelum kebahagiaan yang sempurna datang kepadamu... Habis gelap, terbitlah terang."
Oleh: Nur Setia Alam Prawiranegara, S.H., M.Kn.