Bernasindonesia.com - Lebih dari dua dekade saya mengajar anatomi, dengan kekhususan pada neuroanatomi dan neurosains. Selama itu pula saya membimbing skripsi, tesis, hingga disertasi—sekaligus terus belajar secara otodidak, mengikuti seminar, pelatihan, dan membaca berbagai literatur untuk memahami lebih dalam tentang otak manusia. Meski bukan pakar, saya hafal jalur-jalur saraf, paham letak korteks prefrontal, sistem limbik, batang otak, dan jejaring sinaps di antara semuanya. Termasuk kemajuan2 mutakhir dengan pendekatan Konektom (fungsi otak mutakhir dipahami dari koneksi-koneksi tinimbang wilayah atau areal tertentu).
Namun, di tengah semua rutinitas itu, satu pertanyaan terus mengusik: _untuk apa semua peta otak ini, kalau saya tak paham ke mana pikiran dan perasaan manusia bergerak_? _Apa gunanya tahu struktur, jika kita tak mengerti bagaimana ia melahirkan perasaan, membentuk keyakinan, dan menggerakkan tindakan_? Semakin lama saya berkutat dengan anatomi, semakin jelas bagi saya: otak bukan sekadar organ biologis. Ia adalah arena pertarungan antara pikiran dan perasaan, atau bahasa ilmiahnya: kognisi dan emosi.
Semakin saya dalami, anatomi membawa saya bukan hanya pada struktur, tapi pada asal-muasal perilaku. Belajar tentang otak pada akhirnya adalah belajar tentang pikiran. Dan belajar tentang pikiran berarti masuk ke wilayah yang jauh lebih luas: bagaimana ide bekerja, bagaimana keyakinan terbentuk, dan bagaimana keduanya bisa menggerakkan manusia—baik untuk merdeka, maupun untuk tunduk.
Di saat2 seperti ini ingatan membawa saya pada masa2 menjadi aktivis mahasiswa, bahkan saat melaksanakan profesi sebagai dokter. *Madilog* karya *Tan Malaka* adalah salah satu buku yang menggoda ingatan saya. Ditulis pada tahun 1943 di sebuah rumah sewaan di Kalibata. Lebih dari 10 tahun lalu saya, tanpa sengaja, saya iseng menjajal areal ini meski tak tahu persis apakah benar tempat yang saya tuju. Saya ikuti upaya sejarahwan Harry Poeze saja.
_“Ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata Cililitan Jakarta. Disini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog, ialah lebih kurang 8 bulan dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari.”_ Kata Tan dalam pengantar bukunya.
Buku yang ditulis Tan Malaka ini bukan sekadar risalah filsafat. Ia adalah upaya serius membangun kerangka berpikir rakyat Indonesia—berpijak pada tiga fondasi: _Materialisme, Dialektika,_ dan _Logika_. Berbeda dengan Marx dan Engels yang menekankan materialisme-dialektik, Tan menambahkan satu kunci yang membuatnya istimewa: *logika*. Sebab bagi Tan, tanpa logika, rakyat hanya akan terus diperbudak—bukan oleh senjata, tapi oleh cara berpikir yang gelap dan manipulatif.
Tan Malaka menyebut fenomena yang dihadapi bangsa ini sebagai “*_logika mistika_*”: _cara berpikir yang tunduk pada tahayul, dogma, dan kepercayaan buta, yang menjauhkan rakyat dari nalar ilmiah dan membiarkan mereka mudah diperdaya_. Itulah mengapa Madilog bicara tentang pembebasan yang lebih dalam: bukan sekadar politik, tapi pembebasan akal.”
‘Logika mistika’ yang dikritik Tan Malaka belum mati—ia hanya berganti rupa. Dulu, mistika tampil sebagai tahayul, dukun, dan kepercayaan tanpa dasar. Hari ini, ia menjelma menjadi kultus individu, mitos kesaktian politik, dan jargon kosong yang diterima tanpa perlu pembuktian. Pemilihan presiden, parlemen, hingga kepala daerah kerap jadi ajang adu citra, bukan adu gagasan. Rakyat diarahkan untuk memilih berdasarkan rasa suka, simbol agama, atau narasi heroik yang sengaja dibangun, bukan karena nalar kebijakan atau rekam jejak. Kandidat dipoles bak tokoh sakral—disucikan di atas panggung, dijaga dengan mitos dan mistifikasi.
Debat publik tak lagi membedah program, hanya jadi etalase pencitraan. Ini jelas wajah baru logika mistika: ketika keyakinan mengalahkan akal, ketika persepsi lebih menentukan daripada bukti.”
Di era digital ini, bukan lagi kitab suci atau dukun kampung yang jadi sumber mistifikasi, tapi algoritma, buzzer, dan tim kreatif kampanye. Mitos tentang pemimpin lahir dari editan video, potongan foto, dan repetisi narasi yang sengaja dirancang untuk mematikan nalar. Data, rekam jejak, dan analisis program tenggelam di bawah banjir slogan dan simbol. Rakyat diajak percaya, bukan diajak bertanya. Politik elektoral berubah menjadi ritual pengabsahan mitos, bukan forum pertukaran gagasan. Maka benarlah, logika mistika belum mati—ia justru tumbuh subur di zaman yang mengaku paling rasional.
Logika mistika di negeri ini tak cuma hidup di bilik suara. Ia beranak-pinak di banyak ruang: dari cara memilih pemimpin, memilih pengobatan, sampai memilih investasi. Di tengah politik elektoral, ia hadir dalam bentuk kultus individu, janji-janji bombastis tanpa program yang terukur, dan mitos tentang pemimpin sebagai “orang suci” atau “juru selamat.” Tapi pola yang sama juga muncul saat masyarakat lebih percaya pada kalung anti-virus, air doa, atau investasi yang “direstui pemimpin agama” ketimbang logika dan data.
Logika mistika membuat rakyat lebih cepat percaya pada narasi yang diulang, bukan pada kebenaran yang diuji. Ia menolak pertanyaan, memusuhi keraguan, dan memuja kepastian semu. Dalam politik, logika ini jadi alat paling efektif untuk mengontrol massa: cukup penuhi ruang dengan simbol, slogan, dan mitos, maka nalar bisa dikandangkan tanpa perlawanan.
Dalam pandangan saya, logika mistika tetap relevan—dan berbahaya. Bukan sekadar warisan masa lalu, tapi mesin aktif yang terus bekerja menjaga rakyat tetap percaya tanpa bertanya. Akses tak terbatas terhadap sains di jaman digital ini, nyatanya, tak mengubah logika mistika ini.
Logika mistika paling berbahaya justru bekerja di tempat yang mestinya jadi benteng akal sehat: di sekitar para pemimpin, di ruang kampus, di podium akademik. Di panggung politik, kita menyaksikan bagaimana seorang pemimpin bisa dipuja seakan tanpa cela. Semua ucapannya dianggap kebenaran, semua tindakannya diberi tafsir pembenaran. Kritik dianggap dosa, oposisi diperlakukan sebagai pengkhianat, dan pertanyaan dilabeli makar.
Lebih menyedihkan, institusi yang seharusnya menjaga daya kritis publik—kampus, lembaga riset, bahkan sebagian media—sering kali ikut terperangkap dalam logika mistika ini. Mereka bukan lagi penantang kuasa, tapi pelengkap narasi. Seminar politik jadi seremonial pengukuhan status quo, bukan ruang untuk menggugat kebijakan. Akademisi berlomba-lomba menjadi konsultan citra, bukan penjaga nalar.
Takhayul modern tumbuh subur: ketika big data dipakai bukan untuk membaca kebutuhan rakyat, tapi untuk memetakan emosi demi memenangkan pemilu; ketika algoritma dijadikan senjata untuk memproduksi kesan, bukan untuk mencari kebenaran. “Survei” lebih dipercaya ketimbang analisis mendalam, apalagi jika angkanya menguntungkan pihak berkuasa. Data menjadi jimat, bukan alat berpikir.
Di tengah semua ini, logika mistika bekerja senyap tapi efektif: rakyat dicekoki simbol, akademisi diam, dan pemimpin dimuliakan di atas kritik. Demokrasi tetap berlangsung, tapi tanpa nalar.
Kita tentu tidak sedang menuduh bahwa semua pemimpin itu manipulatif, atau semua akademisi telah kehilangan integritas. Tidak. Justru karena masih ada yang jernih, masih ada yang jujur, maka kritik ini perlu disuarakan. Sebab diam di tengah pembusukan nalar, adalah bentuk lain dari pengkhianatan intelektual.
Logika mistika tak datang tiba-tiba. Ia tumbuh dari sistem yang membiarkan kebodohan menjadi alat kontrol, dari budaya yang mengagungkan loyalitas di atas kebenaran. Upaya melawannya tak bisa sekadar dengan kemarahan, tapi dengan ketekunan membangun ulang keberanian berpikir. Kita tidak butuh lebih banyak penceramah, kita butuh lebih banyak pendengar yang berani bertanya. Kita tidak perlu pemimpin yang tampil seperti nabi, tapi pemimpin yang mau diuji argumennya dan dikoreksi jalannya.
Tan Malaka mungkin tak hidup di era media sosial, tapi yang ia lawan masih sama: kebiasaan berpikir yang malas, tunduk, dan mistis. Kini, tugas itu ada pada kita—para pendidik, penulis, akademisi, dan warga biasa—untuk tidak membiarkan logika mati di tengah demokrasi. Karena jika berpikir dianggap berbahaya, maka bertanya adalah bentuk keberanian yang paling revolusioner.
Mungkin di sinilah letak kesulitan terbesar bangsa ini: kita terlalu cepat percaya, terlalu jarang bertanya. Kita mudah terpesona oleh simbol, tapi pelit mencari makna. Kita bangga dengan ritual demokrasi, tapi abai memelihara nalar yang jadi jantungnya.
Tan Malaka sudah mengingatkan: selama cara berpikir kita masih dikuasai logika mistika, selama kita lebih memilih tunduk daripada bertanya, maka kekuasaan akan selalu punya cara untuk menyihir kita—dengan jargon, dengan citra, dengan janji-janji yang tak perlu dibuktikan.
Ole: Oleh Taufiq F. Pasiak
Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta