Pertamina Tak Cakap dalam Komunikasi Krisis

| Senin, 03 Maret 2025 | 01.00 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Jika mengamati perkembangan informasi skandal kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023, maka ada hal yang perlu juga diperhatikan secara serius. Bagaimana perusahaan negara itu melakukan komunikasi ke publik? Bagaimana responnya menanggapi pemberitaan yang tiada henti di media sosial dan media massa termasuk televisi.  


Secara gamblang PT Pertamina (Persero) membantah tuduhan dari Kejaksaan atas pengoplosan Bahan Bakar Minyak Pertamax yang dilakukan oleh Perusahaan. Hal ini disampaikan oleh Vice President (VP) Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso yang menegaskan Pertamax tetap sesuai standar, yaitu RON 92 dan memenuhi semua parameter kualitas bahan bakar yang telah ditetapkan Ditjen Migas Kementerian ESDM. 

Tentu masyarakat tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pejabat Pertamina dalam perkara ini. Sebab kasus korupsi BBM ini telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap Pertamina. RON 90 dijadikan Pertamax RON 92 kemudian dijual ke masyarakat, ini sangat merugikan masyarakat. Rusaknya kepercayaan publik terhadap Pertamina tersebut membuat masyarakat mengalihkan ke produk BBM swasta. Tentu ini juga sangat merugikan bagi Pertamina. 

Komunikasi yang dilakukan oleh VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) bisa dibilang mereka telah mempraktikkan komunikasi krisis “Image Repair Theory” yang dikembangkan oleh William Benoit, berfokus pada strategi penolakan (denial) bahwa PT Pertamina (Persero) tidak melakukan oplosan BBM tetapi Blending sesuai dengan aturan. Komunikasi krisis tersebut tentu saja menafikan fakta yang terjadi di masyarakat. Apalagi perusahaan seperti menghindari tanggung jawab (evasion of responsibility) yang menyebabkan tingkat kepercayaan terhadap perusahaan akan terganggu bahkan rusak. 

Semestinya hal yang dilakukan oleh pihak PT Pertamina (Persero) memahami konteks serta dinamika yang terjadi di masyarakat. Bagaimana masyarakat merespon kasus ini dengan melihat opini publik yang berkembang. Kemudian juga berfokus pada “Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh W. Timothy Coombs, bagaimana perusahaan merespon krisis dengan rasa tanggung jawab ke publik. ada dua langkah yang bisa dilakukan. Pertama, Krisis Victim, menyebutkan bahwa PT Pertamina (Persero) adalah korban dari struktur yang korup, sehingga hal tersebut berdampak pada perusahaan dan kedua adalah Krisis Preventable, krisis ini terjadi karena kelalaian atau kesalahan organisasi itu sendiri. 

Mengakui kesalahan dalam berkomunikasi juga akan berdampak positif bagi citra PT Pertamina (Persero), subholding, dan anak perusahaan termasuk PT Pertamina Patra Niaga. Selain itu pengakuan tersebut juga menunjukkan rasa empati dan tanggung jawab kepada masyarakat yang dirugikan oleh perusahaan. 

Di sinilah pentingnya komunikasi krisis dalam membantu dan mengelola situasi krisis. Jalan komunikasi krisis mana yang kita gunakan juga penting, melakukan penolakan atau menunjukkan rasa empati dan tanggung jawab. Biarlah publik yang menilainya. 


Oleh: Dirga Maulana

Direktur Eksekutif Katong Indonesia
(Konsultan Komunikasi, Opini Publik, dan Transformasi Digital Indonesia)


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI