Krisis Nalar Bernegara, Rasa Berbangsa

| Senin, 17 Maret 2025 | 07.30 WIB

Bagikan:

Berindonesia.com - Di tanah air ini, di bawah langit yang sama, kita pernah percaya bahwa negara adalah perahu besar yg mengangkut semua. Kini, perahu itu melaju dgn nakhoda rabun kompas, sementara penumpangnya dibiarkan saling dorong utk tetap bertahan di geladak.


Nalar yang dulu menjadi lentera kini meredup ditelan kabut pekat kepentingan. Nalar bernegara bukan lagi ttg kebijaksanaan, melainkan sekadar siasat utk bertahan dlm permainan penuh tipu daya. Logika hukum menjadi logika kekuatan, urusan publik dikendalikan privat, rasionalitas ilmu menjadi instrumen manipulasi.

Nalar bernegara seperti sumur yang perlahan mengering. Kata-kata kehilangan makna, pemikiran jernih makin langka. Kita menatap layar lebih sering drpd menatap wajah sesama, kita mengulang slogan lebih sering drpd merangkai pemahaman.

Negeri ini tak lagi dicerahkan oleh perdebatan gagasan. Kearifan surut digantikan pekak suara adu nyaring. Bukan utk menerangi, tapi untuk menenggelamkan. Yang bertanya dianggap duri, yang berpikir dianggap ancaman.

Di ruang sidang dan podium pejabat, suara yang seharusnya bijak kini hanya gema kosong, mengulang janji tanpa bukti. Kata "rakyat" menjadi mantra yg dipakai sesuka hati, tapi mereka yg mengucapkannya tak pernah benar-benar mendengar suara dari lorong sempit dan sawah yg mengering.

Rasa berbangsa yang dulu mengikat kini mengendur, seperti simpul yg tak lagi percaya pada genggaman. Rasa berbangsa yg dulu mengalir dlm darah, kini menguap dlm kepalsuan. 

Rasa berbangsa kini bak nyanyian lama yg liriknya lupa. Kita tahu melodinya, tapi tak paham maknanya. Kata “Indonesia” masih disebut, tapi lupa cara mencintainya, alpa belarasa pada sesama. Kita masih mengibarkan bendera sama, tapi terbelah  prasangka perbedaan dan kesenjangan.

Mungkin negeri ini butuh diam sejenak. Mungkin kita harus berhenti berbicara dan mulai mendengar. Mendengar suara tanah yg mulai lelah, mendengar desir rintihan rakyat kecil, mendengar detak jantung bangsa yg berdenyut lemah. Sebab meski retak, rumah ini belum runtuh. Sebab meski sunyi, masih ada yg berbisik ttg harapan. Sebab meski kehilangan arah, masih ada jalan untuk kembali.

Oleh: Yudi Latif 


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI