Bernasindonesia.com - Korupsi hampir 1000 triliun. Berita itu menghiasi awal Ramadhan 2025.
Beberapa hari sebelumnya sudah viral. Bukan pada besaran korupsinya saja. Melainkan pada modus operandi: oplos pertamax. Negara dirugikan. Rayat dirugikan.
Kita tunggu kejaksaan menuntaskan kasus ini. Juga inisiatif pemerintah melakukan penataan Pertamina secara menyeluruh.
Termasuk tantangan Ahok (BTP) sebagai wistleblower. Sungguh atau hanya narasi lari tanggung jawab saja statemennya di podcast-podcast itu.
Ia dalam rentang sama dengan kejadian peristiwa. Ketika menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina.
Belum genap 5 bulan pemerintahan Prabowo Subianto. Kasus-kasus besar diungkap aparat. Termasuk korupsi. Presiden berkali-kali mengungkapkan tidak akan kompromi dengan korupsi.
Kasus OTT Hakim (mafia peradilan), kasus pejabat becking judol, pembelian tanah oleh Direktur Umum Pertamina (2012-2014), kasus pencuci pasir timah (2017-2019), Kasus Dirjen Kereta Api (2016-2017, kasus keuangan Indofarma (2020-2023), kasus Harvei Mois.
Kasus izin CPO, Kasus Korupsi Dana Desa di Bengkulu Utara, Korusi tol Padang-Pekanbaru, produksi emas ilegal Antam, kasus Tom Lembong. Masih banyak lagi deretan kasus korupsi yang diungkap.
Pertamina sendiri tidak lepas dari skandal mega korupsi. Diantaranya skandal Ibnu Sutowo (1969-investasi di luar negeri) era Orba, kasus Etra Ethyl Lead (2004-2005), pengadaan LNG (2011-2021), Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang (2018-2023).
Pemberantasan sudah secara masif dilakukan. Faktanya adu cepat dengan kelincahan modus operandi korupsi. Beragam praktik korupsi semakin marak, jauh meninggalkan kecepatan aparat hukum membarantas.
Sanksi tidak membuat efek jera. Tidak takut korupsi. Bahkan tidak malu.
Penjara tidak membuat pelakunya jera. Sukamiskin sempat menjadi “villa” para terpidana korupsi. Hidup mewah. Mungkin justru menjadi “sekolah modus operandi korupsi”.
Saling tukar trik antar pelaku dalam meloloskan dari jeratan hukum. Agar seharusnya tidak masuk Sukamiskin.
Mungkin juga masih melakukan intruksi koleganya untuk melakukan korupsi. Setelah masa tahanan selesai, tanpa rasa malu maju kembali ke dalam gelanggang publik. Menjadi pejabat publik.
Penjara dan pengembalian hasil korupsi tidak membuat jera. Sementara hukuman mati tidak berlaku lagi di Indonesia. Sejak tahun 2026 mendatang.
Jadi sanksi seperti apa yang kira-kira perlu dicoba untuk meredam korupsi?. Sanksi yang efektif memberi efek jera?.
Islam memiliki konsep hukum potong tangan bagi pencuri (QS, 5:38). Korupsi, esensinya juga mencuri keungan negara dan rakyat banyak. Jumlah yang dicuri sangat banyak.
“Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Hukum potong tangan merupakan salah satu dari sedikit hukum pidana yang telah ditetapkan dalam Islam. Ialah murtad, membunuh, melukai, zina, menuduh zina, begal-rampok, menentang penguasa yang tidak salah.
Terdapat sejumlah pihak menganggap hukuman potong tangan tidak manusiawi. Tapi hukum modern menerapkan hukuman yang lebih kejam. Hukuman mati.
AS menerapkan hukuman mati bagi pembunuhan berat. Tiongkok mengusir koruptor dengan hukuman mati. Masalahnya di Tiongok hanya ada partai tunggal: Komunis. Kesalahan penerapan hukuman mati sulit terkoreksi di bawah kekuasaan tunggal. Lawan politik bisa dituduh korupsi untuk kemudian dilenyapkan.
Terdapat juga pendapat hukuman potong tangan untuk meredusir kemampuan mencuri. Maka dipotong jempolnya saja. Agar tangannya tidak dipergunakan mencuri.
Tapi situasi sekarang berbeda dengan latar belakang gagasan potong jempol. Pencurian saat ini tidak perlu tangan secara fisik. Korupsi bisa dengan pengaruh untuk mengintruksikan berbagai jaringan pendukung melakukan korupsi.
Jadi asumsi pencurian itu adalah mengambil barang dengan tangan, sudah gugur dengan kondisi saat ini. Potong tangan tidak bisa diganti dengan potong jempol.
Hukum potong tangan merupakan ketentuan Tuhan dalam konsep Islam. Akurasinya tidak perlu diragukan. Perlu diuji coba penerapannya. Perlu dijadikan hukum positif sebagai vonis pelaku korupsi. Selain pengembalian aset, kurungan/penjara, juga dilakukan potong tangan.
Bisa saja dibuat berbagai tingkatan hukuman. "Korupsi ringan" dipotong berapa jari. Setidaknya tidak bisa *operate* laptop dan HP untuk menginstruksi jaringannya melakukan korupsi.
"Korupsi sedang" dipotong berapa jari. "Megakorupsi" dipotong tangan. Misalnya saja. Tinggal dibuat hukum acaranya.
Potong tangan juga bisa menjadi label sosial. Orang yang terpotong jarinya, itu korutor. Ke mana-mana akan ketahuan.
Bukankah negara kita bukan negara Islam?. Negara kita negara Pancasila. Tentu itu betul. Dan tidak perlu mengubah dasar negara.
Ini soal keadilan hukum. Bisa mengambil mode vonis manapun untuk mewujudkan keadilan.
Hukum modern bertumpu pada keyakinan bahwa keadilan bisa ditegakkan. Memberi efek jera orang lain untuk tidak melakukan kejahatan.
Jika hukum potong tangan dinilai mampu meredam korupsi (pencurian besar). Tentu tidak salah untuk diterapkan. Bukankah begitu?
Oleh: Abdul Rohman Sukardi