Bernasindonesia.com - Tiga tahun periode krisis kesehatan global atau COVID-19 menjadi faktor penghambat yang menyebabkan penanganan sejumlah program pemerintah di berbagai sektor harus dilanjutkan dan diselesaikan oleh para menteri anggota Kabinet Merah Putih. Para menteri bisa menyimak program-program dimaksud dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun-tahun sebelumnya.
Diyakini bahwa semua program dan target dalam RPJMN serta RKP tahun terdahulu bertujuan utama memperkokoh pondasi perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, sebagaimana sudah menjadi pengetahuan bersama, realisasi semua program dalam RPJMN dan RKP itu tidak berjalan sesuai rencana karena terganggu oleh wabah COVID-19. Hampir tiga tahun durasi krisis kesehatan itu memaksa negara melakukan penyesuaian di sana-sini, dengan prioritas dan fokus menyelamatkan segenap lapisan masyarakat dari ancaman virus COVID-19.
Untuk tujuan itu, sepanjang durasi wabah Covid-19 (Maret 2020-Juni 2023), pemerintah melakukan refocusing dan realokasi anggaran pada dan dari semua kementerian serta lembaga (L/K) untuk mendapatkan kekuatan maksimal menangani krisis kesehatan itu. Hingga tahun 2022, total anggaran penanganan COVID-19 mencapai Rp 1.895,5 triliun. Refocusing dan realokasi anggaran itu menyebabkan realisasi sejumlah program prioritas digeser, atau bahkan ditunda.
Setelah para menteri Kabinet Merah Putih dilantik Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara Jakarta, pada Senin, 21 Oktober 2024, konsolidasi kementerian dan institusi lainnya diharapkan telah selesai. Dalam konteks keberlanjutan, para menteri perlu menyimak RPJMN dan RKP tahun-tahun sebelumnya. Dapat dipastikan bahwa akan ditemukan program yang belum selesai atau tertunda. Para menteri bisa berpijak pada hasil Evaluasi Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) terhadap belasan target pembangunan dalam RPJMN 2020-2024 yang dipublikasikan baru-baru ini.
Memang, tidak salah jika seorang menteri menetapkan dan merancang program baru sesuai perkembangan keadaan. Namun, apa pun model programnya hendaknya selalu berpijak pada aspirasi publik demi kebaikan bersama. Para menteri pun diharapkan tidak ragu untuk melakukan koreksi kebijakan institusinya selama kebijakan itu tidak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan nasional. Misalnya, kebijakan impor produk manufaktur yang terkesan tidak proporsional itu, atau kebijakan tentang biaya pendidikan.
Sudah menjadi fakta yang dicatat masyarakat bahwa Indonesia masih diselimuti beragam masalah mendasar. Maka, selain hasil evaluasi Bappenas itu, publik bersama para pengamat dan praktisi pun punya sudut pandang tentang program-program yang perlu diprioritaskan sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat.
Aspek kesehatan masyarakat misalnya, masih menyisakan masalah yang belum juga terselesaikan. Utamanya masalah stunting dan angka kematian ibu-bayi. Hingga akhir paruh pertama 2024, pemerintah pun masih prihatin karena lambatnya penurunan angka stunting. Menurut data Kementerian Kesehatan, angka stunting per 2023 tercatat 21,5 persen. Dibanding tahun 2022 yang datanya tercatat 21,6 persen, skala penurunannya hanya 0,1 persen. Hasil kajian melaporkan bahwa ada masalah dalam eksekusi di lapangan sehingga program pencegahan stunting tidak berjalan optimal. Para menteri terkait diharapkan segera mencari rumusan model implementasi yang lebih efektif.
Penanganan masalah angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) hendaknya diprioritaskan. Sistem pencatatan AKI pada Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa jumlah kematian ibu per 2022 mencapai 4.005, dan tahun 2023 meningkat menjadi 4.129. Sedangkan AKB per 2022 sebanyak 20.882, dan tahun 2023 tercatat 29.945. AKI merupakan kematian ibu yang terjadi selama masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Sedangkan AKB menjelaskan jumlah kematian bayi berusia 0-11 bulan per 1.000 kelahiran hidup.
Perhatian lebih juga patut diarahkan pada masalah keberlanjutan pendidikan anak dan remaja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menyebutkan, masih banyak anak Indonesia putus sekolah di berbagai jenjang pendidikan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 mengungkapkan bahwa angka putus sekolah semakin tinggi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada tahun ajaran 2023/2024, dilaporkan adanya 1.267.630 yang lulus dari salah satu jenjang pendidikan, tetapi tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Banyaknya anak dan remaja yang putus sekolah tentu saja sangat memprihatinkan, karena fakta itu mengemuka ketika masyarakat Indonesia sedang melakoni dan terus beradaptasi dengan progres era digitalisasi.
Perubahan yang berkelanjutan menyebabkan negara butuh belasan juta talenta digital. Pemenuhan akan kebutuhan talenta digital patut masuk skala prioritas. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa kebutuhan negara akan talenta digital hingga tahun 2030 mencapai 12 juta orang, sementara perguruan tinggi di dalam negeri hanya mampu menyediakan sekitar sembilan (9) juta talenta digital. Kominfo juga mencatat, Indonesia per tahunnya kekurangan 500 ribu talenta digital.
Pada aspek ekonomi pun masyarakat sangat prihatin. Akhir-akhir ini, melalui sarana media sosial, sejumlah kalangan sering menyajikan data tentang perkembangan jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Terjadi gelombang PHK yang berkelanjutan akibat menurunnya produktivitas sektor manufaktur, sehingga mendorong banyak pelaku industri atau pabrik, baik skala besar maupun skala UMKM, melakukan penyesuaian dengan mem-PHK pekerja.
Data kementerian tenaga kerja mencatat, sepanjang periode Januari –Oktober 2024, total PHK dialami lebih dari 52.993 pekerja. Tahun lalu, total PHK mencapai 64.000. Patut untuk diwaspadai bahwa jumlah pengangguran menjadi sangat besar jika ditambahkan dengan 10 juta komunitas Gen-Z yang tidak melanjutkan pendidikan dan tidak bekerja, sebagaimana diungkap Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2024. Para menteri ekonomi tentunya perlu merumuskan strategi baru untuk memberi ruang bagi sektor industri dalam negeri bertumbuh dan berkemampuan menyerap angkatan kerja.
Kehendak mewujudkan swasembada pangan sebagaimana telah dicanangkan Presiden Prabowo Subianto patut menjadi program prioritas. “Saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kita tidak boleh bergantung dari sumber makanan dari luar,” tegas Presiden Prabowo dalam pidatonya usai Pengucapan Sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2024.
Selain itu, para menteri perlu menunjukan kesungguhan untuk merealisasikan agenda transformasi ekonomi nasional melalui hilirisasi ragam sumber daya alam (SDA). Program hilirisasi, menurut rencana Presiden, akan menyentuh 28 komoditas unggulan Indonesia, meliputi nikel, timah, tembaga, besi baja, emas perak, batu bara, aspal buton, dan minyak bumi. Sasaran hilirisasi lainnya meliputi gas bumi, kelapa, karet, getah pinus, udang, ikan TCT, rajungan, rumput laut, pasir silika, kobal, logam tanah jarang, kakao, pala, dan tilapia.
Terwujudnya swasembada pangan dan keberhasilan hilirisasi ragam SDA akan mengurangi ketergantungan Indonesia akan bahan pangan impor, memperkuat strtuktur industri dan penciptaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya di dalam negeri.
Oleh: Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN)