Bernasindonesia.com -“Bid’ah”, kata sejumlah pihak. Terutama Salafi-Wahabi. Soal peringatan Maulid Nabi.
Alasannya tidak dilakukan dijaman Rosulullah Muhammad Saw.
Menurut mereka, sesuatu yang tidak dicontohkan oleh rasulullah itu *bidáh*. Setiap *bid'ah* sesat. Vonis itu mengesampingkan setidaknya dua hal.
Pertama, soal definisi dan kriteria *bid’ah*. Antara terlarang dan inovasi positif.
Terdapat kaidah fiqh: “inovasi peribadatan mahdhoh selain telah ditetapkan/dianjurkan hukumnya terlarang”.
Misalnya menambahkan rekaat sholat Maghrib yang tiga rekaat menjadi empat rekaat. Itu tidak boleh. Terlarang. Sedangkan “inovasi di luar ibadah mahdhoh pada dasarnya boleh, kecuali ditetapkan larangannya”.
Kedua, peringatan maulid nabi Muhammad Saw., sebenarnya *"inovasi even"*. Kreasi aktivitas kolektif masyarakat muslim. Pada momentum kelahiran Rasulullah Saw., melalui beragam kegiatan. Bukan kreasi peribadatan Mahdoh.
Pada even maulid itu diselenggarakan: baca Al-Qurán, ceramah/*tabligh*, pembacaan biografi dalam satu rangkaian sholawatan.
Muatan konten dalam even itu tidak ada kreasi peribadatan baru. Baca Al-Qur’an, *tabligh*, pembacaan sholawat. Semua diperintahkan.
Merupakan kegiatan positif yang dianjurkan dalam Islam.
Maulid Nabi biasanya diselenggarakan partisipatif. Termasuk pembiayaan dan pelaksaan teknis. Makan bersama setelah acara bukan pesta.
Tidak ada Maulid nabi ditujukan untuk pesta. Melainkan pemenuhan kebutuhan manusiawi lazimnya penyelenggaraan kegiatan. Ketika melewati jadwal makan. Maka dibuat acara makan bersama.
Penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad Saw., bisa diklasifikasi ke dalam dua tujuan.
Pertama, ungkapan rasa syukur diturunkannya Nabi Muhammad Saw. *Guidance*/ penunjuk jalan kebaikan kepada ummat manusia. QS Al Ahzab ayat 21 mengkonfirmasi itu:
*"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah,"*
Rasulullah Muhammad Saw., seorang manusia. Makan, minum, tidur, bekerja, berkeluarga, bermasyarakat, selayaknya manusia pada umumnya.
Maka kehendak Allah Swt., tentang model *“kehidupan yang baik dan menyelamatkan”*, mudah dipelajari dan ditiru ummat manusia.
Kehendak Allah Swt tentang baik dan buruk itu bukan konsep berjarak. Hanya dipahami secara imajinatif. Karena dimensi ke-Tuhanan berbeda pada alam manusia.
Kehendak pencipta (Allah Swt.), bisa dipelajari melalui sosok pribadi Rasulullah Muhammad Saw.
Betapa besarnya makna Rasulullah di muka bumi, penghormatan terhadapnya memperoleh apresiasi dari Allah Swt. Sebagaimana Abu Lahab penentang ajaran Nabi Muhammad. Namun ia mengungkapkan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad dengan membebaskan budak.
Maka setiap Senin, seminggu sekali, ia (Abu Lahab) memperoleh keringanan dari siksa neraka.
Kedua, transformasi misi kenabian. Kepada Masyarakat luas. Dari generasi ke generasi.
Jika diklasifikasi sederhana, misi kenabian itu untuk membangun peradaban tauhid. Mengajak manusia tunduk pada Tuhan (Allah Swt.,) dan hukum-hukumnya.
Termasuk tunduk pada perjanjian kontraktual antar sesama manusia yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan.
Even maulid nabi merupakan momentum untuk terus mengingatkan, menghidupkan, sekaligus menggelorakan, spirit pembangunan peradaban tauhid. Baik melalui ceramah, maupun muatan pesan yang terkandung dalam rangkaian bacaan sholawat.
Dalam bacaan sholawat itu ada biografi, doa-doa, sekaligus kisah misi kenabian yang disandang Rasululullah Muhammad Saw.
Termasuk pembangunan peradaban tauhid itu penyempurnaan akhlak manusia. *“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”*, begitu sabda Rasulullah.
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi telah menjadi budaya. Termasuk serangkaian *Grebeg* Maulid.
Acara-cara maulid di Masjid-masjid atau Mushola lingkungan. Transformasi misi kenabian itu merata hingga kampung-kampung. Tanpa dikomando.
Masyarakat terkadang lebih banyak mengingat varian-varian budayanya. Anak-anak mengingat kecerian-keceriaan acaranya. Tanpa disadari misi kenabian itu ditransformasikan dalam suasana yang gembira.
Islam menjadi budaya. Mengakar di tengah-tengah masyarakat. Tanpa pemaksaan. Tanpa kekerasan.
Apakah begitu itu *bidáh*?
Oleh: Abdul Rohman Sukardi