Bernasindonesia.com - Mendirikan partai. Itulah sayup-sayup kelanjutan ikhtiar politik Anis Baswedan (AB). Sebuah rencana atau hanya desakan sejumlah pihak. Tidak begitu jelas.
Rencana itu, jika benar, hanya selang beberapa bulan dari cira ketidakpantasan kompetisi selain pilpres. Bagi AB. Ia tidak level untuk kompetisi selain posisi tertinggi itu. Menjadi Presiden. Setidaknya kata pendukung-pendukungnya. Walau pilpres 2024 sudah menunjukkan hasil. Ia kalah.
Fakta berikutnya AB dirundung keterlunta-luntaan. Ia tidak memperoleh dukungan parpol pengusung. Hanya untuk maju sebagai kandidat Gubernur Jakarta. Jabatan ia sebelumnya.
PKS, partai pendukungnya sejak lama, memilih jalan pragmatis. Nasdem dan PKB tentu tidak sekuat PKS pembelaannya terhadap AB. PDIP sebagai alternatif terakhir juga tidak memberi ruang. AB “dibuang” sebagai cagub Jabar. Sebuah penolakan secara halus terhadap AB.
Kini ada rencana, atau desakan mendirikan partai. Bagaimana kemungkinannya?.
Jika kita cermati, sebenarnya AB tidak memiliki loyalis organik. Khususnya sumberdaya politik. Basis massanya bisa kita kategorikan dalam empat kluster.
_Pertama_, *massa anti rezim non parpol*. _Kedua_, *massa anti sistem*. _Ketiga_, *massa parpol pendukung pilpres*. _Keempat_, *massa produk framming*.
*Kluster* kategori *pertama* meliputi orang-orang yang tidak sejalan atau kecewa terhadap rezim berkuasa. Rezim presiden Jokowi. Mereka tersebar dalam beragam profesi. ASN, profesional (dokter, lawyer, karyawan, jurnalis, aktivis keagamaan, dll). AB merupakan kendaraan perlawanan kekecewaan terhadap rezim berkuasa.
Basis massa kelompok ini berdampak elektoral ketika pilpres. Namun profesinya akan mengikatnya untuk tidak terlibat dalam aktivitas kepartaian. Kluster ini tidak akan bisa membantu AB dalam membesarkan partai yang akan dibuatnya. Kluster ini bukan sumberdaya politik yang dibutuhkan AB membesarkan partai.
*Kluster kedua*, merupakan basis massa anti sistem. Seperti eks HTI. Mereka tidak menerima sistem demokrasi seperti di Indonesia. Mereka ingin sistem sendiri: khilafah.
Target kelompok ini bukan untuk memenangkan kompetisi pilpres. Melainkan menjadikan AB sebagai aliansi sementara atau "kuda troya" untuk mendekonstruksi sistem.
Targetnya adalah rapuhnya sistem demokrasi Pancasila. Untuk kemudian ide khilafah diterima luas di kalangan nmasyarakat.
Kluster pendukung ini juga bukan sumberdaya politik yang bisa diajak AB untuk membangun partai. Mereka memiliki agendanya sendiri.
*Kluster ketiga*, merupakan basis massa parpol pendukung dalam pilpres. Anggota PKS, Nasdem, PKB. Basis massa kelompok ini akan kembali sebagai pekerja politik bagi partainya. Tidak untuk partai selain itu. Termasuk partai yang didirikan AB.
*Kluster keempat* merupakan basis massa partisan. Hasil produk _*framming*_ citra positif terhadap sosok AB. Oleh _*framming*_ itu mereka menjatuhkan simpati dan dukungannya terhadap AB. Bukan produk kaderisasi politik. Maka tidak bisa diandalkan untuk menjadi pekerja-pekerja politik bagi parpol yang didirikan AB.
AB berbeda dengan Anas Urbaningrum (AU). Figur terakhir ini merupakan produk kaderisasi organisasi kader mahasiswa hingga puncak karir. Pemimpin puncak organisasi. HMI. AB tidak sampai memimpin puncak organisasi kader mahasiswa itu.
Organisasi kader mahasiswa ini merupakan sekolah politik bagi para aktivis mahasiswa. Mereka memiliki talenta dalam manajemen organisasi politik. Maupun kerja-kerja politik.
Hal itu menjadikan AU memiliki sumberdaya politik pada setiap kota yang memiliki perguruan tinggi. Pada setiap kota yang memiliki jaringan alumni organisasi itu. AB tidak memiliki. Karir puncaknya hingga senat mahasiswa. Setelah itu melanjutkan studi ke luar negeri.
Berdasarkan realitas itu, mendirikan parpol sendiri bagi AB bisa diduga juga merupakan jalan terjal. Apalagi menghidupinya memerlukan biaya yang tidak murah.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi