Bernasindonesia.com - Kartel partai politik atau oligopoli parpol telah menjadi kenyataan politik Indonesia saat ini. Dengan bersatunya KIMPlus dalam mendesain Pilkada DKI dan sejumlah daerah lainnya, khususnya di tingkat provinsi, menggeser demokrasi yang cenderung bebas dan liberal selama era reformasi menjadi ke arah demokrasi terpimpin. Sayangnya demokrasi terpimpin yang didesain menyingkirkan aspirasi politik rakyat yang berkembang, seperti di DKI, ketika Anies yang menjadi simbol rakyat DKI, digusur paksa tidak bisa mencalonkan.
Dengan adanya perubahan syarat pengusungan calon pilkada yang diputuskan MK 60/2024, hari ini, maka kesempatan parpol untuk tidak terpaksa melakukan politik transaksional, sudah tebuka. Alasan PKS misalnya tidak memilih Anies dan Sohibul Iman, karena tadinya tidak cukup syarat dukungan, tentu bisa direvisi ulang. Asalkan PKS memang partai ideologis.
Selama ini, dalam demokrasi liberal, rakyat dimanjakan dengan pilihan ideologi dan kepentingan yang beragam, yang ditawarkan partai. Sebaliknya, nanti dalam demokrasi terpimpin, pilihan ideologi dan kepentingan tergantung dari politik dagang sapi elit-elit yang berkuasa saja.
Di Indonesia memang membuat sistem demokrasi liberal sulit dilakukan. Olehkarena kekuatan dan kekuasaan elit tidak sungguh-sungguh mempunyai ideologi perjuangan. Kebanyakan kekuatan dan kekuasaan itu bertumpu pada kekuatan individual, berbasis dinasti, seperti Prabowo, Megawati dan SBY yang merupakan generasi kedua atau ketiga dari kekuasaan masa lalu, maupun Jokowi yang merupakan boneka PDIP atau Pengembang, tanpa ideologi.
Sebaliknya, di negara-negara eropa, misalnya, hampir semua organisasi perjuangan dilakukan berbasis ideologi, baik yang kiri maupun yang kanan. Kelompok kiri baru, misalnya kelompok "green party", tidak berkompromi dengan kerusakan lingkungan, meskipun tidak akan masuk pada inti kekuasaan. Perjuangan bagi mereka lebih menonjol ketimbang berkuasa.
Kelompok liberal konservatif, juga berjuang untuk kebebasan individu dan keluarga agar tidak terlalu diatur negara. Bagi mereka negara hanyalah hambatan kebebasan. Mereka merasa dirinya adalah pekerja keras dan tentunya anti pajak.
Spektrum ideologi dan kepentingan di negara maju telah membuat mereka mempunyai model yang berkelanjutan dalam membangun rakyatnya. Negara sebagai ruang bersama diatur untuk memberikan kesempatan mobilitas vertikal dari setiap warga negara.
Sebenarnya demokrasi terpimpin di era Bung Karno maupun diberbagai negara sosialis, umumnya di masa lalu, membangun konsolidasi keterpimpinan bukan dengan politik dagang sapi maupun kepentingan elit, mereka membangun konsolidasi berbasis ideologis. Ini yang disebut Bung Karno sebagai Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila membedakan demokrasi liberal yang sebebas-bebasnya, yang ditenggarai tidak sesuai dengan budaya kita. Namun, Demokrasi Pancasila membuka ruang politik adanya perbedaan ideologi dan kepentingan di masyarakat. Sayangnya, di era Bung Karno, kelompok Komunis mempengaruhi Soekarno untuk menghomogenisasi visi dan memenjarakan serta memburu tokoh-tokoh politik yang berlawanan. Bapaknya Prabowo Subianto adalah salah satu korban.
Nah, demokrasi terpimpin yang kita saksikan era Jokowi sekarang ini, terkait Pilkada, benar-benar menjijikkan. Keterpimpinan mereka, seperti KIMPlus, tidak berhubungan dengan cita-cita, spirit dan aspirasi yang berkembang ditengah masyarakat. Awalnya ini memang sangat berhubungan dengan politik dinasti. Sehingga, akhirnya pemilihan calon2 kepala daerah seenaknya saja tanpa melihat kontestasi visi ataupun berdasarkan rekam jejak ideologis calon.
Kita tidak menolak adanya demokrasi terpimpin, karena memang itu bagian sejarah panjang bangsa kita. Hanya saja demokrasi terpimpin itu harus dengan ideologi. Bukan politik dinasti, nepotisme dan syarat kepentingan. Sehingga nantinya rakyat dapat meyakini pilihan politik elit-elit sesuai dengan aspirasi mereka.
Seandainya Prabowo ke depan ingin Demokrasi Terpimpin Pancasila, tentu saja dapat dimusyawarahkan. Selama bersifat ideologis tentunya rakyat mungkin bergembira.
*Penutup*
Alasan parpol masuk dalam oligopoli ataupun kartel dalam pilkada sekarang ini bertumpu pada ketakutan maupun alasan kurangnya kursi syarat dukungan. Demokrasi Terpimpin di mana konsolidasi KIMPlus berbasis, memperlihatkan tanpa ideologi, visi dan aspirasi rakyat. Ini adalah Demokrasi Terpimpin Amburadul. Sedangkan Demokrasi Terpimpin yang pernah ada, seperti di era Sukarno, sangat bersifat ideologis. Sehingga kita pantas mengecam model KIMPlus yang ada saat ini.
Dengan adanya MK 60/2024 yang mempermudah syarat pengusungan calon Pilkada, kita ingin melihat parpol-parpol yang ada apakah mempunyai aspirasi dalam menentukan calon kepala daerah. Atau memang mereka tidak punya ideologi sama sekali.
Kita bertanya khususnya pada PKS, apakah akan balik mendukung Anies?
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan
(Sabang Merauke Circle)