Bernasindonesia.com - Sistem pengupahan negara saat ini tidak mengakomodir kebutuhan pekerja lepas (freelancer) pada industri media dan kreatif yang rentan. SINDIKASI mengusulkan penghitungan model upah freelancer yang mengakomodir kebutuhan produktif, reproduktif, dan pengembangan diri. Sebanyak 29,03% responden pernah memiliki pengalaman langsung atas kasus-kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. SINDIKASI mengusulkan adanya regulasi perlindungan freelance dan pekerja sektor industri media dan kreatif.
SINDIKASI, 25 Maret 2024 - Riset terbaru Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) berjudul “Upah Layak Untuk Semua: Model Pengupahan Pekerja Lepas Industri Media Dan Kreatif" menemukan besaran pengeluaran per bulan freelancer lebih besar dua kali lipat dari upah yang mereka dapat. Temuan ini diambil berdasarkan survei terhadap 55 responden freelancer di industri media dan kreatif yang berasal dari Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Banten, D.I. Yogyakarta, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan.
Tim peneliti menemukan mayoritas responden (75,55%) mendapatkan upah kurang dari Rp 7 juta per bulan. Di sisi lain, total rata-rata kebutuhan alat produksi per bulan per proyek adalah Rp 1.729.634 dan total kebutuhan untuk reproduksi per bulan yakni Rp 13.082.303,95. Dengan demikian, total pengeluaran rata-rata pekerja lepas jika dihitung secara kumulatif adalah Rp 15.444.557,2 per bulan.
Alat produksi yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk laptop, smartphone, kendaraan bermotor, kamera, lensa, dan lain-lain yang selama ini ditanggung sendiri pengadaannya oleh freelancer. Adapun komponen yang termasuk dalam aspek reproduktif yakni biaya pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan lainnya.
“Persoalan timpangnya upah freelancer dengan pengeluaran yang mereka miliki kerap kali tidak disadari karena beberapa hal seperti termin pencairan upah mereka yang terlihat besar meskipun jika dihitung per bulan jauh lebih rendah serta adanya akses terhadap kredit dan utang,” ujar Tim Peneliti Upah Layak Untuk Semua Estu Putri Wilujeng saat peluncuran riset, Sabtu, (24/3/2024).
Penentuan kenaikan upah yang hanya didasari oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi seperti dalam sistem pengupahan versi pemerintah hari ini juga menjadi masalah. Pasalnya, aspek kebutuhan produktif dan reproduktif freelancer terus bertambah sehingga tidak bisa hanya mendasarkan kenaikan harga dari kebutuhan sebelumnya.
Sebagai contoh, freelancer graphic designer perlu mengganti laptop dengan spesifikasi yang lebih tinggi setiap periode tertentu untuk menaikkan kualitas kerjanya. Kebutuhan ini tidak bisa dipenuhi hanya dengan menambahkan komponen harga laptop lama dengan inflasi saja. Contoh lain, dalam aspek reproduktif, peningkatan pengeluaran freelancer untuk memenuhi kebutuhan anak yang mulai bersekolah tidak bisa dicukupi hanya menggunakan skema kenaikan upah berkala berdasar penambahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, peneliti menyusun model pengupahan pekerja lepas yang mengakomodir kebutuhan produktif, kebutuhan reproduktif, dan kebutuhan pengembangan diri yang disesuaikan dengan status dan rekognisi berupa pengalaman kerja, tingkat keterampilan dan beban kerja yang ada. “Pemodelan tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena membutuhkan strategi advokasi yang matang yang sesuai dengan ekologi dan kehidupan sehari-hari pekerja lepas. untuk mendapatkan upah layak,” kata Estu.
Untuk memudahkan freelancer dalam menentukan kelayakan upah mereka, SINDIKASI akan segera membuat semacam kalkulator penghitungan upah layak yang diunggah bisa diakses melalui internet.
Dari riset berbeda berjudul *“Kekerasan Seksual Terjadi di Kalangan Pekerja Industri Media dan Kreatif, Mari Mengajak Semua Pihak Berani Bicara”* yang juga diluncurkan bersamaan dengan riset sebelumnya, peneliti menemukan bahwa sebanyak 37,63% responden pernah mendengar adanya kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja.
Kemudian sebanyak 29,03% responden pernah memiliki pengalaman langsung atas kasus-kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. Hanya sekitar 10,75% responden yang menjadi saksi adanya kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja, sedangkan yang tidak pernah mengalami satupun sebanyak 22,58%.
Tim peneliti Lestari Nurhajati memaparkan bahwa data menunjukkan bahwa mayoritas pelecehan dan kekerasan seksual terjadi di lingkungan kerja, mencapai 62,8% dari keseluruhan kasus. Hotel, kafe/restoran, tempat klien, rumah, area publik, dan lokasi lainnya juga menjadi tempat umum di mana kasus serupa terjadi.
Namun, hanya sekitar 32% dari individu yang menjadi korban melaporkan kejadian tersebut. Dari jumlah itu, 46% melaporkan kepada atasan atau supervisor mereka, sementara 24% melaporkan kepada rekan kerja, dan sebagian kecil lainnya melaporkan kepada psikolog, satuan tugas internal, atau lembaga eksternal seperti polisi dan komisi perlindungan hak asasi manusia.
“Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengalaman pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja serta sikap terhadap perlunya advokasi bagi korban cenderung cukup signifikan. Ini menunjukkan pentingnya meningkatkan kesadaran akan kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja, terutama di bidang media dan industri kreatif,” ujar Lestari.
Untuk itu tim peneliti merekomendasikan untuk melakukan sosialisasi tentang pentingnya penghentian kekerasan dan pelecehan di dunia kerja kepada seluruh anggota tim, termasuk pimpinan, pekerja, dan pihak terkait lainnya seperti klien dan narasumber.
Kedua, memberikan pendidikan tentang kekerasan berbasis gender di lingkungan kerja kepada semua pihak terkait. Hal ini penting untuk meningkatkan pemahaman akan masalah ini dan mengurangi insiden kekerasan dan pelecehan.
Ketiga, mengajak pekerja untuk berani berbicara tentang kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana korban merasa didukung untuk melaporkan kasus-kasus tersebut.
Terakhir, penting untuk mendorong pimpinan perusahaan untuk membuat aturan yang jelas dan tegas mengenai kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Hal ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mendukung bagi semua pekerja.
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) merupakan organisasi yang diinisiasi oleh para pekerja untuk menjadi wadah kolektif dalam mengatasi kompleksitas permasalahan kelas pekerja. Sejak 2017, SINDIKASI aktif melakukan pengorganisiran, pendampingan, serta mengedukasi para pekerja media dan industri kreatif. SINDIKASI resmi tercatat sebagai serikat pekerja pada Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Utara dengan nomor pencatatan 2279/III/SP/XII/2017. Saat ini, SINDIKASI sudah memiliki kepengurusan di tingkat wilayah yaitu Jabodetabek dan Jogjakarta serta segera menyusul di Bandung, Surabaya, dan Makassar.