Bernasindonesia.com - Upaya membangun kemandirian dan keberlanjutan energi harus diwujudkan di tengah dinamika ketersediaan sumber mineral dan energi di tanah air, demi kemakmuran yang merata.
"Pada periode transisi energi saat ini, kita harus berkomitmen penuh mengurangi dampak perubahan iklim dan menjamin pelestarian lingkungan yang mampu mendukung ketahahan energi yang kita miliki," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tata Kelola Ketahanan Energi Indonesia Menuju 2045 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (17/).
Diskusi yang dimoderatori Arief Adi Wibowo (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu dihadiri oleh Sugeng Suparwoto (Ketua Komisi VII DPR RI), Filda C. Yusgiantoro, S.T., M.B.M., M.B.A., Ph.D. (Ketua Umum Purnomo Yusgiantoro Center /PYC) dan Muhammad Kholid Syeirazi (Direktur Eksekutif Center for Energy Policy - Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama), sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Tri Mumpuni (Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) dan Hadi Ismoyo (Praktisi Migas) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, sesuai amanat konstitusi, implikasi perlindungan negara juga termasuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang secara khusus tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, terkait kekayaan alam yang dikelola negara harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Dalam konteks itu, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pengelolaan sumber daya alam dan mineral di Indonesia selain menjamin ketahanan energi juga mesti menunjang kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Per November 2023, Dewan Energi Nasional (DEN) menyampaikan bahwa ketahanan energi nasional Indonesia berada pada angka 6,57, termasuk dalam kategori tahan.
Di sisi lain, ujarnya, mengutip World Energy Outlook 2024, konsumsi energi global akan meningkat sebesar 1,8% karena permintaan besar dari pasar Asia.
"Bagaimana dengan kategori tahan itu kita mampu mengantisipasi peningkatan konsumsi energi dan dinamika di sejumlah sektor," ujar Rerie, sapaan akrab Lestari.
Karena itu, tegas Rerie, tata kelola ketahanan energi Indonesia, di samping dapat memenuhi kebutuhan domestik, juga harus mampu memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.
Seiring dengan perubahan maupun ketidakpastian dunia, menurut Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, dibutuhkan perbaikan terkait inovasi kebijakan yang terintegrasi, sehingga dapat membantu mengembangkan sistem ketahanan energi yang efektif, efisien dan transparan.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengungkapkan bahwa Indonesia perlu terus meningkatkan energy security, sekaligus harus bersiap menghadapi gejolak ketersediaan energi.
Kebijakan energi yang tepat, ujar Sugeng, sangat diperlukan agar negara mampu merealisasikan ketersediaan energi dari sisi keterjangkauan harga dan mudah diperoleh.
Menurut Sugeng, energy security kita untuk bahan bakar minyak (BBM) saat ini sekitar 20 hari. Sedangkan di sejumlah negara energy security-nya sudah mencapai dua hingga tiga bulan. Padahal, ungkap dia, konsumsi migas kita saat ini 1,4 juta barel per hari.
Di sisi lain, Sugeng juga menegaskan, Indonesia juga berkomitmen untuk merealisaikan nett zero emission dengan terus berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca.
Diakui Sugeng, energi yang bersumber dari fosil sudah menjadi masalah, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak beralih ke pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Saat ini, ungkap Sugeng, Komisi VII DPR RI sedang memfinalisasi undang-undang energi baru terbarukan, merevisi undang-undang ketenagalistrikan dan menyusun rancangan undang-undang Migas.
Secara umum, tegas Sugeng, paradigma kebijakan energi kita adalah melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil.
Ketua Umum Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Filda C. Yusgiantoro mengungkapkan, saat ini ada empat megatrend yang mempengaruhi dunia yaitu dampak ekonomi di Asia sangat luar biasa, persaingan dalam mengelola sumber daya alam, pemanfaatan teknologi dan perubahan iklim.
Saat ini, ujar Filda, terjadi tren peningkatan pemanasan global ketika terjadi peningkatan produksi CO2 yang menyebabkan suhu bumi naik.
Diperkirakan, tambah dia, dari rentang waktu 2000-2100 bila tidak ada upaya apa pun, suhu bumi akan meningkat 2,9 derajat Celcius.
Diakui Filda, progres realisasi SDGs sektor energi Indonesia stagnan, sehingga membutuhkan kualitas SDM yang lebih baik di sektor energi.
Filda juga menilai, capaian bauran energi baru terbarukan di Indonesia masih jauh dari target. Pemanfaatan energi di Indonesia saat ini, tambah dia, bersumber dari gas bumi (23%), batu bara (26%), minyak bumi (46%) dan energi baru terbarukan (5%).
Tata kelola kebijakan energi, tegas Filda, memerlukan perubahan paradigma terkait kesadaran masyarakat dalam melakukan diversifikasi dan konversi energi.
Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi mengungkapkan pada rentang waktu 2000-2050 energi fosil masih dominan, masyarakat dunia ingin membalikkan dominasi itu dengan mengutamakan energi baru terbarukan.
Pemanfaatan energi baru terbarukan 23% pada 2025, menurut Kholid, adalah target yang mustahil diwujudkan.
Karena, jelas dia, untuk merealisasikan transisi energi dibutuhkan sejumlah upaya antara lain pengembangan energi baru terbarukan, melakukan pensiun dini PLTU, pemanfaatan hidrogen.
Tantangan untuk mewujudkan transisi energi, jelas dia, juga besar karena ketiadaan dana transisi, teknologi green energy mahal, harga jual produk green energy juga tinggi dan ekosistem green energy juga belum memadai.
Kholid mengusulkan adanya petroleum fund di luar APBN yang bisa dimanfaatkan untuk mendanai proses transisi dan diversifikasi ke energi hijau.
Anggota Dewan Pengarah BRIN, Tri Mumpuni berpendapat bahwa bangsa kita adalah bangsa yang tidak mau belajar dalam menyikapi pemanfaatan energi hijau.
Sejak hampir 30 tahun lalu, ujar Tri Mumpuni, sudah mengusulkan agar sebagian hasil dari penjualan bahan bakar fosil disisihkan untuk pengembangan energi hijau.
Praktik serupa, menurut Tri Mumpuni, sudah dipraktikkan oleh China untuk mencari energi alternatif untuk mengganti energi fosil yang sudah menyusut.
Menurut Tri Mumpuni, selain mengupayakan transisi energi, Indonesia perlu meningkatkan kedaulatan energi. Dia menyarankan agar negara memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mengembangkan potensi energi hijau.
Praktisi Migas, Hadi Ismoyo berharap agar secepatnya RUU Migas menjadi undang-undang, agar menjadi dasar hukum bagi industri migas di tanah air.
Untuk mengembalikan produksi migas 1 juta barel per hari, ujar Hadi, upaya eksplorasi harus ditingkatkan dan Pertamina seharusnya berada di garis depan dalam upaya tersebut.
Pemerintah, tegas Hadi, harus meningkatkan kapabilitas organisasi di sektor energi, karena kenyataannya masing-masing kementerian/lembaga terkesan memiliki agenda sendiri dalam menerapkan kebijakan.