Bernasindonesia.com - Sejak era reformasi, Indonesia menerapkan Sistem Demokrasi ala Barat melalui Pemilu Presiden Langsung. Dan sejak saat itu juga, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat. Karena pelaksana kedaulatan adalah Partai Politik dan Presiden terpilih.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti memaparkan penerapan Sistem Demokrasi ala liberal Barat itu disumbang dua hal mendasar. Pertama adanya praktik penyimpangan yang terjadi di Era Orde Baru terhadap sistem Demokrasi Pancasila.
Kedua, karena para mahasiswa hukum dan kampus-kampus hukum di Indonesia dijejali teori tata negara yang menyatakan demokrasi Barat adalah yang terbaik.
“Akibatnya pada saat Amandemen Konstitusi kita langsung mengadopsi sistem demokrasi tersebut. Termasuk mengganti sistem bernegara Indonesia. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah membenahi praktek penyimpangan di Era Orde Baru, tanpa harus mengganti Azas dan Sistem Bernegara yang sesuai Pancasila,” ujar LaNyalla dalam Focus Group Discussion oleh DPC PERADI Kota Surabaya dengan tema “Inkonsistensi UUD NRI 2002” di Kantor Kadin Jatim, Surabaya, Senin (27/11/2023).
Dengan diterapkannya Sistem Demokrasi ala Barat, lanjut LaNyalla, Partai Politik dan Presiden, masing-masing memegang kedaulatannya sendiri. Bahkan Partai Politik menjadi sangat dominan, karena mereka yang mengusung dan memilih calon presiden, untuk disodorkan kepada rakyat. Akibatnya, Presiden terpilih akan menjalin koalisi dengan Partai Politik dengan cara, bagi-bagi jabatan dan kekuasaan.
Jika partai politik dan Presiden terpilih menjalin koalisi mayoritas, maka apapun yang mereka kehendaki pasti akan terlaksana. Karena partai politik melalui anggota DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang.
“Tidak ada lagi ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Karena memang sudah tidak ada Lembaga Tertinggi Negara lagi. MPR sudah bukan lagi lembaga tertinggi. Sudah tidak ada lagi Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Semua berada di tangan Partai Politik. Dimana di dalam Undang-Undang Partai Politik, mereka diberi ruang untuk memperjuangkan kepentingan Partainya masing-masing,” papar LaNyalla.
Sementara, rakyat yang tidak setuju terhadap produk Undang-Undang hanya diberi ruang untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Dimana komposisi Hakim MK terdiri dari pilihan presiden dan pilihan partai politik. Dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat.
“Memang ada Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi DPD di Indonesia bukan pembentuk Undang-Undang dan tidak memiliki kewenangan seperti Senat dalam Sistem Kongres di Amerika Serikat atau Inggris dan Australia. Karena memang Indonesia bukan negara federal,” katanya lagi.
Dalam pandangan Senator asal Jawa Timur itu, kekacauan sistem tata negara Indonesia ini sebenarnya bermula saat bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam.
Karena itulah, kata LaNyalla, DPD RI, mengambil inisiatif kenegaraan, dengan mengajak seluruh komponen bangsa untuk kembali menerapkan Sistem Bernegara sesuai Rumusan Pendiri Bangsa, sehingga bangsa ini kembali ke fitrah negara Pancasila, dengan jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Tentunya dilakukan penyempurnaan dan penguatan dengan teknik adendum.
“Penguatan dan penyempurnaan itu untuk memastikan posisi kedaulatan rakyat yang lebih kuat, dan untuk menghindari praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Di sinilah peran penting para Advokat Indonesia untuk ikut dan aktif meresonansikan gagasan demi Indonesia yang lebih baik ini kepada seluruh elemen bangsa,” tegasnya.
Ketua DPC Peradi Surabaya, Hariyanto memaparkan alasan mengapa institusinya menggelar FGD ini. Dikatakannya, demokrasi adalah alat, bukan tujuan. Demokrasi, lanjutnya, harus dibangun dengan rambu-rambu.
“Kalau rambunya tidak jelas, dasar normatifnya jungkir balik, tak sesuai dengan amanat para pendiri bangsa, saya kira kita juga harus hati-hati, ke mana bangsa ini akan dibawa,” tutur Hariyanto.
Ia mengingatkan perlunya kita memikirkan kembali pemikiran founding fathers saat mendirikan negara ini. Salah satu tujuannya, kata Hariyanto, adalah kesejahteraan rakyat.
Manakala kita lupa akan hal tersebut, Hariyanto menyebut praktiknya akan jauh panggang dari api. Lantas, apa yang seharusnya kita lakukan? Itu sebabnya Hariyanto menegaskan bahwa forum ini diselenggarakan. Tentunya demi kebaikan bernegara kita.
“Kami berharap FGD ini ada tindaklanjutnya. Selalu ditegaskan bahwa kita harus taat pada Pancasila dan UUD 1945. Lah UUD yang mana? Kalau demikian, maka semestinya harus kembali kepada UUD 1945 sebelum diamandemen,” demikian Hariyanto.
Dalam paparannya, Pengamat Ekonomi-Politik, Dr Ichsanuddin Noorsy memaparkan amburadulnya Amandemen UUD 1945 tahap I sampai IV. Menurutnya, hasil perubahan UUD 1945 tahun 1999 sampai 2002 mengandung kontradiksi, baik secara teoritis konseptual maupun dalam praktik ketatanegaraan.
“Yang menyatakan ini bukan Ichsanuddin Noorsy, tetapi Komisi Konstitusi dalam kajiannya di tahun 2002. Yaitu terdapat inkonsistensi substansi, baik yuridis maupun teoritis. Ketiadaan kerangka acuan atau naskah akademik dalam melakukan perubahan UUD 1945 merupakan salah satu sebab timbulnya inkonsistensi teoritis dan konsep dalam mengatur materi muatan UUD,” jelasnya.
Sementara Dosen Fisip UI, Dr Mulyadi memaparkan, ada tiga misi terselubung dalam penggantian UUD 1945. Yaitu ingin menguasai ekonomi, menguasai politik dan menguasai Presiden.
“Coba saja baca dan perhatikan di dalam pasal-pasalnya. Kuasai ekonomi akhirnya dijadikan liberalisme. Di politik yaitu dengan liberalisme politik, adanya gabungan partai seperti Pasal 6A ayat 2. Lalu kuasai pemerintah itu dengan diubahnya penjelmaan rakyat di MPR menjadi pilpres langsung,” tukasnya.