Bernasindonesia.com - Miras oplosan kembali menelan korban nyawa. Kali ini terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta di mana sebanyak tujuh orang meninggal setelah diduga mengonsumsi miras oplosan. Ketiadaan aturan tentang minuman beralkohol (minol) setingkat undang-undang di Indonesia ditambah sanksi hukum yang tidak menjerakan membuat kejadian seperti ini akan terus berulang.
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris mengungkapkan, saat ini masih banyak orang yang menganggap aktivitas memproduksi, mengedarkan, dan mengonsumsi miras oplosan dianggap perbuatan yang biasa, tidak dilarang apalagi melanggar hukum. Anggapan memproduksi miras oplosan sebagai hal yang biasa semakin menguat karena bahan baku pembuatannya yakni etanol dan metanol dengan mudah dibeli kapan saja dan oleh siapa saja. Tidak heran kalau ditemukan ada orang yang mampu memproduksi miras oplosan dalam jumlah yang besar.
“Miras oplosan ini seperti bom waktu. Kapan saja dan di mana bisa menelan korban jiwa. Ini konsekuensi dari ketiadaan undang-undang yang mengatur soal minol di negeri ini sehingga aktivitas memproduksi, mengedarkan, dan mengonsumsi miras oplosan dianggap perbuatan yang biasa, tidak dilarang apalagi melanggar hukum. Mau sampai kapan situasi seperti ini terus terjadi? Kenapa Pemerintah dan DPR tidak kunjung mengesahkan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang sudah bertahun-tahun dibahas tetapi tak kunjung selesai?,” ujar Fahira Idris yang juga Anggota DPD RI ini.
Menurut Fahira Idris, salah satu dampak dari kehadiran UU yang mengatur soal minol adalah produksi dan distribusi etanol dan metanol sebagai bahan baku miras oplosan akan lebih tertata. Produksi dan pembelian keduanya akan lebih ketat dan selektif karena menjadi barang yang dikecualikan hanya untuk kepentingan terbatas. Artinya, siapa saja tidak akan mudah mendapatkan etanol kecuali untuk kepentingan tertentu misalnya pembuatan antiseptik, pelarut obat, pelarut kimia, dan juga bahan bakar mesin dan roket. Sementara metanol, misalnya, hanya boleh dibeli untuk peruntukan bahan baku produksi bahan kimia.
Kehadiran UU yang mengatur soal minuman beralkohol, lanjut Fahira, juga akan menata sanksi hukum terutama bagi produsen dan pengedar miras oplosan dengan sanksi pidana yang lebih menjerakan.
“Karena undang-undang yang mengatur minuman beralkohol belum ada, maka saat ini yang bisa dilakukan adalah pengawasan ketat produksi dan pengedaran miras oplosan. Selain itu, agar ada efek jera, para produsen dan pengedar miras oplosan harus dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana karena telah menelan korban jiwa dan Pasal 204 KUHP tentang perbuatan melawan hukum karena menjual barang yang membahayakan jiwa dan kesehatan dengan ancaman hukuman 15 sampai 20 tahun,” pungkas Fahira Idris.