Bernasindonesia.com - “Saya adalah kematian, dan perusak dunia.” Dengan sangat mendalam dan dihayati, Oppenheimer, menyatakan kutipan tersebut.
Itu momen tanggal 16 Juli 1945. Oppenheimer baru saja menyaksikan uji coba bom atom yang pertama. Uji coba itu berhasil sangat sukses.
Tapi justru karena sukses itu, Oppenheimer bimbang. Sehebat itu daya rusak bom atom. Memang bom ini bisa menghentikan perang dunia kedua. Tapi seberapa banyak orang yang akan mati karenanya? Dan banyak dari yang mati itu nanti penduduk sipil, yang juga tak tahu menahu soal kebijakan perang.
Oppenheimer pun merenungkan kutipan itu. Ia dapatkan renungan itu dari studinya pada kitab suci Hindu, Bhagavad Gita.
Oppenheimer diombang- ambingkan oleh dilema moral. Salahkah ia begitu militan sebagai ilmuwan? Salahkah Oppenheimer ingin merangkum ilmu fisika paling mutakhir untuk menjadi bom atom yang daya ledaknya sangat besar, tak pernah tertandingi dalam sejarah?
Salahkah ia mengikuti panggilan negaranya untuk menghentikan perang dunia kedua, tapi sekaligus membunuh 200 ribu orang? Salahkah Oppenheimer setelah bom meledak, ia berbalik melawan pemerintahnya sendiri, mengkampanyekan anti senjata nuklir?
Salahkah pula Oppenheimer yang terlibat dalam proyek rahasia negara, tapi ia juga diromantisasi oleh ide- ide yang dekat dengan komunisme? Salahkah ia yang memimpin proyek vital Manhattan, tapi memilih istri dan juga kekasih di luar pernikahan yang simpatisan serta anggota Partai Komunis pula?
-000-
Saya tercekam lama, terserap dalam film dengan durasi 3 jam itu. Perdebatan sikap ilmuwan atas perang dan politik, bertukar- tukar dengan drama ruang persidangan. Percobaan lab dan ledakan bom atom silih berganti pula dengan kisah cinta Oppenheimer dengan lebih dari satu wanita.
Ia terpana dengan sikap kolega sesama fisikawan. “Oppie,” (nama panggilan Oppenheimer), “saya menolak ikut Manhatan Project. Saya tak ingin puncak 3 abad ilmu fisika berujung pada penciptaan bom yang akan membunuh begitu banyak orang. Bom itu buta, membunuh siapa saja, yang salah ataupun yang tak salah.”
Oppenheimer meyakinkannya. “Senjata seperti ini, cepat atau lambat pasti ditemukan. Ilmu pengetahuan untuk bom atom tersedia. Daripada Nazi Jerman yang merangkainya, dan menggunakannya, lebih baik kita yang lebih dulu mendapatkannya.”
Di lain waktu, ketika Jerman sudah dikalahkan, teman- teman sekerjanya bermaksud menghentikan proyek bom atom. “Buat apalagi bom itu. Jepang tinggal sendirian dan akan kita kalahkan tanpa bom atom. Mengapa kita harus membunuh banyak manusia di negara yang sudah lemah?
Kembali Oppenheimer meyakinkan mereka. “Jepang tak akan menyerah sebelum mereka tahu kehebatan bom atom. Mereka tak akan tahu sebelum mengalami diserang bom atom. Dan mereka tak akan mengalami sebelum kita mampu membuatnya.”
Namun ketika bom atom sukses diledakkan di Nagasaki dan Hirosima, berbalik Oppenheimer dikejar bayangan itu. Ia dihantui wajah para korban yang meleleh, badan yang gosong.
Kini Oppenheimer yang justru menentang pengembangan bom atom ke tahap yang lebih hebat.
Pemerintah Amerika Serikat yang awalnya memuja Oppenheimer berbalik badan pula menginterogasi dan mengucilkannya.
-000-
Ujar Christ Nolan, penulis skenario dan sutradara, “Film ini tak kan pernah ada tanpa buku apik: American Prometheus tahun 2005 oleh Kai Bird dan Martin J. Sherwin.(1)
Buku itu diriset sangat detail selama 25 tahun menyelam dan merangkai kepingan kisah J. Robert Oppenheimer.
Cillian Murphy berperan sebagai Oppenheimer. Emily Blunt sebagai istri Oppenheimer, Katherine "Kitty.” Matt Damon sebagai Jenderal Leslie Groves, pengendali militer.
Juga berperan Robert Downey Jr. sebagai Lewis Strauss, anggota senior Komisi Energi Atom Amerika Serikat.
Pemeran pendukung termasuk Florence Pugh, Josh Hartnett, Casey Affleck, Rami Malek, dan Kenneth Branagh.
Ini film penuh bintang. Kehebatan acting para aktor dan artis itu ikut melezatkan film.
Buku sebagai basis film ini sengaja mengambil judul mitologi Yunani: Prometheus. Peran Oppenheimer disamakan dengan kisah legenda Prometheus.
Mitologi Yunani memiliki kisah yang menarik tentang Prometheus yang mencuri api untuk memberikannya kepada manusia.
Prometheus memiliki simpati yang besar pada umat manusia. Di zaman dahulu kala, manusia hidup dalam kegelapan dan kesulitan. Sedangkan para dewa memegang api dan pengetahuan, tapi untuk diri mereka sendiri.
Namun, Prometheus berani melanggar perintah dewa dan mencuri api dari Olimpus, tempat tinggal para dewa.
Dia menggunakan tongkat atau batang tumbuhan yang disebut "fennel stalk" untuk membawa api dari langit turun ke Bumi.
Setelah berhasil mencuri api, Prometheus memberikannya kepada manusia, memberikan mereka kemampuan untuk memasak makanan, menghangatkan diri, dan melawan kegelapan.
Dengan pemberian ini, manusia menjadi lebih maju dan mandiri mengembangkan peradaban.
Namun, perbuatan Prometheus ini membuat Zeus, raja para dewa, marah besar. Zeus merasa manusia telah mencuri keistimewaan para dewa.
Sebagai hukuman, Zeus mengirim Pandora ke Bumi. Kotak itu berisi segala macam bencana dan penderitaan yang dilepaskan ke dunia ketika dibuka.
Zeus juga memberikan hukuman lebih lanjut kepada Prometheus. Dia mengikat Prometheus di gunung dengan rantai. Setiap hari seekor elang akan datang untuk memakan hati Prometheus yang terikat.
Tapi karena Prometheus seorang Titan yang abadi, hatinya akan tumbuh kembali setiap malam. Tumbuh hati dan dipatok terus menerus, itu siksaan untuk Prometheus tanpa henti.
Meskipun Prometheus harus menderita karena perbuatannya, tapi Prometheus dipuja manusia. Ia tetap menjadi simbol kecerdasan, kecerdikan, dan pemberdayaan manusia melalui pemberian api.
Prometheus itu disinggung pula oleh Niels David Bohr kepada Oppenheimer. Ujar Bohr, “Dengan merangkai bom atom itu, kau menjadi Prometheus yang mencuri api dari dunia kahyangan untuk manusia. Ada kemungkinan kau juga akan dihukum sepanjang hidupmu seperti Prometheus.
Sehabis menonton film itu, saya pun merenung. Terdiam. Menyelam. Saya pun tenggelam dalam dilema moral yang sering datang. ***
Oleh: Denny JA