Bernasindonesia.com - Indonesia menjelang Pilpres 2024 sedang tidak baik-baik saja. Ekonomi China melambat sejak 2022 dan Eropa memasuki resesi pada kwartal kedua 2023. Yang dikhawatirkan adalah, turunnya nilai ekspor Indonesia berakibat pada PHK massal dari industri-industri terkait.
Di dalam negeri, banyak perusahaan memindahkan pabriknya dari Jawa Barat ke Jawa Tengah karena upah pekerja lebih murah. Kepindahan pabrik ini juga bakal memicu PHK massal. Sedangkan kondisi ekonomi secara nasional belum pulih akibat covid selama tiga tahun.
Ditambah dengan polarisasi politik di dunia maya, praktik korupsi elite yang semakin telanjang, dan orientasi pembangunan yang tidak menyentuh masyarakat bawah. Ketidakadilan ekonomi dan sosial dapat memicu konflik SARA yang berujung pada disintegrasi bangsa dalam skala yang luas. Siapakah yang mampu menjadi juru damai jika konflik meletus? Tidak banyak anak bangsa yang mampu.
Sebut saja konflik Aceh, antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia yang memakan waktu 30 tahun, tidak selesai dengan empat presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.
Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 merupakan ‘momentum’. Korban meninggal mencapai 230.000 jiwa lebih. GAM mulai terbuka melihat kesungguhan pemerintah dalam memberikan bantuan kemanusiaan.
Kita harus menyebut Jusuf Kalla sebagai tokoh perdamaian Aceh yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Sebelumnya, ada tangan JK, sapaan akrabnya, pada perdamaian antara umat Islam dan umat Kristen Poso melalui Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001. JK pula inisiator perdamaian umat Islam dan umat Kristen Maluku melalui Piagam Malino II pada 13 Februari 2002.
Suatu hari Menkumham Hamid Awaludin bertanya bagaimana JK dapat memiliki tahapan perencanaan perdamaian yang tidak meleset sedikitpun. JK menjawab bahwa semua itu karena pengalaman keseharian dan keikhlasan, tidak punya pretensi dan keinginan pribadi secara timbal balik, dan perhitungan yang cermat (“Perdamaian Ala JK: Poso Tenang, Ambon Damai”, 2009: 10).
“Berbuat baik untuk kemanusiaan didasari keikhlasan. Pekerjaan kemanusiaan bukanlah pekerjaan cuma-cuma,” ujar JK saat menerima penghargaan tertinggi dalam bidang sosial dan kemanusiaan ‘Parasamya Anugraha Dharma Krida Baraya’ pada puncak Dies Natalis ke-42 Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (12/3/2018).
Bagi JK, tugas setiap manusia adalah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Nyawa manusia itu berharga. Membunuh satu manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia. Menghargai sesama hanya muncul dari sikap yang terbuka dan demokratis. Karena itu mendamaikan orang yang bertikai adalah kebajikan yang luar biasa, bagian dari perintah agama yang bernilai ibadah. Tampaknya, JK ingin membumikan pesan Alquran Surat Al Hujarat [49] ayat 10, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Maka itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat."
Negara yang selalu dipenuhi konflik, tidak akan maju. Anak bangsa tercerai berai. Masyarakat tidak bekerja dengan tenang. Pengusaha tidak mau berbisnis. Konflik melahirkan ketidakpastian, hukum tidak berjalan dengan baik. Investasi rentan hilang begitu saja oleh sebab-sebab non-ekonomis. JK menganggap penting sistem demokrasi, sebab itu merupakan syarat transparansi, keterbukaan, yang dapat meredam potensi konflik.
“Orang capek berkonflik,” ungkap JK di Sidang Umum PBB (20/9/2016). Ini mungkin rumus sikap taktis JK dalam menyusun perdamaian.
Butuh kemampuan khusus untuk mendamaikan orang-orang yang berkonflik. JK punya tiga sikap dasar dalam bertindak, yaitu ikhlas, sabar, dan syukur, sebagaimana yang ia paparkan kepada Hamid Awaludin. Keikhlasan terkait ketulusan dan kebersihan hati. Kesabaran terkait pemahaman dan sikap toleran kepada orang lain. Syukur adalah menerima segala yang kita terima dan alami.
JK mengubah paradigma para pihak yang berkonflik yang ingin membunuh musuhnya untuk memperoleh surga. Menurut JK, membunuh itu jalan pintas masuk neraka. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan bahwa membunuh itu baik. Nurcholish Madjid sampai memuji pandangan JK yang terbuka dan berani ini.
JK orang timur, bicaranya lugas, ngomong apa adanya di depan tidak di belakang. Sebagai seorang pengusaha, ia biasa detail dalam melihat suatu masalah. Orang awam melihat JK itu taktis. Padahal ia selalu menghimpun berbagai informasi sebelum memutuskan sesuatu. Memahami latar belakang konflik dan tujuan para pihak secara mendalam adalah langkah penting memulai perundingan.
Tidak heran, JK memanfaatkan isu-isu primordial sebagai jalan komunikasi. Kesamaan suku dan agama digunakan untuk mengawal proses perdamaian. Otto Syamsudin Ishak menyebut elite Aceh berasal dari Melayu, Arab, dan Bugis. Nah, JK berdarah Bugis dan Mufidah istrinya berdarah Minangkabau. Kedua suku ini dikenal memiliki tradisi agama dan budaya yang kuat sebagaimana Aceh. Kehadiran JK relatif mudah melahirkan kepercayaan (trust) dengan mempertimbangkan geneologi tersebut. Ini sesuatu yang lumrah dan terjadi pada hampir semua suku di Indonesia.
Tujuan perdamaian adalah menjaga martabat manusia. Tidak boleh ada pihak yang merasa kalah, direndahkan, dipermalukan. Sebab perasaan kalah dan terhina akan melahirkan sekat-sekat psikologis, memupuk dendam, yang siap meledak sewaktu-waktu.
“Orang berunding itu harus satu sama lain dalam posisi yang sama dan saling menghormati. Kita (mediator) harus netral. Juga memastikan kedua kelompok tidak saling kehilangan muka satu sama lain pada proses tersebut,” tutur JK saat diwawancara Pemimpin Redaksi Kompas.com, Wisnu Nugroho (4/2/2021). Sikap saling menghargai juga melahirkan trust.
Dampak perdamaian adalah membaiknya relasi sosial antar pihak-pihak yang berkonflik. Visinya adalah menyiapkan generasi penerus yang bisa tumbuh normal, berkembang, dan berkolaborasi memajukan negerinya. Tidak mungkin dilakukan satu golongan saja, karena pasti akan menghabiskan banyak energi, biaya dan waktu yang tidak sedikit. Karena itu, perdamaian harus disegerakan karena sesuai dengan fitrah manusia. Jangan ditunda-tunda.
Negeri kita yang majemuk membutuhkan juru damai seperti JK di tiap generasi. Terutama dari Generasi Z dan Milenial yang mencapai 60 persen dari total pemilih pada Pemilu 2024. Mereka butuh dibekali pendidikan politik dan perdamaian.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 menyebut polarisasi politik di dunia maya merupakan salah satu kontributor kerawanan. Saat ini generasi muda kita menjadikan medsos sebagai hiburan semata. Ruang maya adalah simulacra, realitas permukaan, yang mengkamuflase problem sosial ekonomi yang konkret. Provider medsos membuat dunia maya sebagai realitas baru dan mengendalikannya.
Tentu ada risiko bagi pendamai seperti JK. Kantornya di Makassar dibom pada tahun 2003 oleh kelompok Islam karena dianggap memihak kubu Kristen Poso.
Oleh: Andito Suwignyo
(Alumni HMI dan GMNI Bandung)