Bernasindonesia.com - Walau sudah ada terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak dihukum mati, salah satunya Herry Wirawan, tetapi masih saja ada predator anak yang leluasa berkeliaran melakukan aksi bejatnya. Baru-baru ini terkuak dugaan perkosaan terhadap anak 16 tahun (beberapa sumber menyebut 15 tahun) di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah yang diduga dilakukan oleh 11 pria. Bahkan yang membuat miris, diantara terduga pelaku, ada yang diduga berprofesi sebagai kepala desa, guru, hingga personel kepolisian.
“Ini benar-benar biadab, apalagi jika benar diantara terduga pelaku ada yang profesinya diduga kepala desa, guru, hingga personel kepolisian. Apa mereka tidak paham kekerasan seksual terhadap anak kejahatan luar biasa setara dengan terorisme dan pengedar narkoba? Apa mereka tidak tahu, menjadi pelaku kekerasan seksual anak artinya hukuman mati menanti? Apa mereka tidak sadar, profesi mereka itu harusnya menjadi yang terdepan melindungi anak-anak dari kekerasan seksual? Saya minta peristiwa ini menjadi perhatian serius negara. Seret ke pengadilan dan tuntut hukuman mati,” tukas Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris dalam keterangan tertulisnya (30/5).
Fahira Idris meminta, dalam proses penegakan hukum dan di persidangan nanti, baik kepolisian, kejaksaan dan hakim tidak perlu ragu menjerat, menuntut dan menjatuhi hukuman mati kepada predator atau pelaku kekerasan seksual anak di Kabupaten Parigi Moutong ini, sesuai perintah Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo Pasal 76D UU 17/2016 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Terlebih, jika nanti dalam proses pendalam di kepolisian dan fakta-fakta di persidangan, tindakan perkosaan ini dilakukan berkali-kali, mengakibatkan luka berat dan terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi korban.
Selain itu, vonis mati predator anak Herry Wirawan yang sudah berkekuatan hukum tetap karena Mahkamah Agung telah menolak permohonan kasasinya, bisa jadi yurisprudensi bagi penegak hukum baik di kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman dalam mengadili kasus ini. Dengan perangkat hukum yang ada saat ini terutama UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, lanjut Fahira, tidak boleh ada hukuman yang ringan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
“Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin meresahkan. Harus ada shock therapy agar semua orang di negeri ini paham dan terbuka matanya bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa dan bisa dihukum mati. Makanya, sekali lagi saya meminta kepada Kejaksaan untuk segera mengeksekusi mati terpidana pelaku kekerasan seksual anak, Herry Wirawan agar menjadi shock therapy,” pungkas aktivis perlindungan anak ini.