Bernasindonesia.com - Pendekatan melalui pembinaan teritorial (binter) TNI tidak akan bisa efektif dilakukan di Pulau Papua, apabila aparat intelijen lemah. Metode operasi intelijen juga harus dilakukan dengan human intelligence’ (intelijen kemanusiaan) yang bersifat persuasif, edukatif, dan humanis.
Demikian dikemukakan analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting di Jakarta, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin (9/1/2023).
Pernyataan itu disampaikannya menanggapi pertemuan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin dengan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang didampingi Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali di kediaman Wapres di Jakarta, Selasa (3/1/2022).
Dalam pertemuan tersebut, Wapres menginstruksikan Panglima TNI menggunakan strategi defensif aktif untuk pengamanan di Papua. Sebab keamanan Papua menjadi syarat utama pembangunan kesejahteraan di daerah tersebut.
“Yang diinginkan Wakil Presiden agar Papua tetap pendekatannya humanis. Pendekatan-pendekatan teritorial tetapi dengan ketegasan-ketegasan. Jadi istilahnya Wapres itu defensif aktif,” ujar Juru Bicara Wapres, Masduki Baidlowi, Selasa (3/1/2022).
Menurut Selamat Ginting, defensif aktif melalui binter TNI tidak akan mungkin bisa dilakukan apabila aparat intelijen gagal melakukan penggalangan terhadap masyarakat yang masih menginginkan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Binter TNI hanya bisa dilakukan terhadap masyarakat yang sudah menyatu dengan NKRI, dan tidak punya pikiran separatis. Yang masih berpikiran separatis, harus dihadapi dengan operasi intelijen dan operasi tempur,” tegas dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
Dikemukakan, jika situasi di Papua tidak aman, maka yang dikedepankan bukan pendekatan binter TNI, melainkan pendekatan melalui operasi intelijen, kemudian operasi tempur, setelah itu barulah binter TNI.
“Sangat tidak mungkin melalukan pendekatan binter, jika sejumlah anggota TNI dan Polri masih menjadi sasaran pembunuhan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pisahkan terlebih dahulu, mana masyarakat yang ingin tetap dalam pangkuan Ibu Pertiwi, dan mana penduduk bersenjata yang mendukung OPM,” ujarnya.
Dia mengharapkan operasi intelijen yang humanis dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), bisa dilakukan dengan melibatkan satuan bantuan administrasi (satbanmin), seperti personel polisi militer dan personel hukum militer. Mereka bisa memberikan penyuluhan agar personel tidak melanggar hukum, apalagi melanggar HAM.
“Fungsikan personel polisi militer dan hukum militer di garis belakang operasi intelijen dan operasi tempur. Mereka harus bekerja di lapangan, bukan kerja di dalam ruangan saja,” paparnya.
Efektifitas operasi intelijen, lanjutnya, berkaitan dengan perilaku petugas intelijen dan tergantung pada sikap moral dan nilai. Diakuinya, operasi intelijen dapat menyebabkan dilema moral dalam perilaku petugas intelijen. Oleh karena itu agar tidak melanggar prinsip etika dan nilai-nilai demokrasi, dalam operasi intelijen dan operasi tempur, perlu juga melibatkan personel pembinaan mental (bintal) TNI.
Menurut Selamat Ginting, militer dibentuk untuk menghadapi situasi bangsa yang tidak normal, dan situasi darurat dimana sipil tidak mampu mengatasinya. Mereka sebaiknya lebih banyak ditempatkan di lapangan, bukan lebih banyak di dalam ruangan, termasuk dari satbanmin TNI.
“Jadikan Papua sebagai daerah proyek utama penanganan menjaga kedaulatan bangsa. Hal seperti ini pernah dilakukan di era Presiden Sukarno melalui program Trikora menghadapi Belanda,” ujar Ketua bidang Politik, Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas.
Ia juga meminta TNI harus fokus berpikir menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi segenap tumpah darah Indonesia di Tanah Papua. “Jika gagal dalam tugas tersebut, maka pejabat militer di Papua, jangan ragu untuk dicopot,” pungkas Ginting.