Tragedi Bola Indonesia di New York Times dan Washington Post

| Rabu, 05 Oktober 2022 | 10.14 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - “Dari Indonesia?,” tanya kasir di grocery kecil di kota London. “Ya,” jawab saya. Sambil memasukan minuman dan makanan yang saya beli, ia berkata: “Ikut berduka ya atas tragedi sepakbola yang mengerikan di Indonesia.”


“Terima kasih,” jawab saya pelan. Itu tanggal 1 Oktober 2022, di hari tragedi. Jarak waktu Jakarta - London 6 jam.

Saya penasaran bertanya: “Anda tahu dari mana? Itu tragedi baru terjadi beberapa jam lalu.” Enteng saja ia menjawab: “Oh, seluruh dunia sudah tahu. Jumlah yang mati terlalu banyak. Berita menyebar dalam kecepatan cahaya,” ujarnya senyum.

Besoknya, 2 Oktober 2022, saya searching di Google. Ingin tahu sisi apa yang paling menarik diangkat oleh media berpengaruh dunia. Dua media yang saya eksplor khusus: New York Times dan Washington Post.

-000-

Washington Post mengangkat dua isu itu. Pertama, digunakannya gas air mata oleh polisi. Ini yang menyebabkan kepanikan massal, penonton susah bernafas, dan akhirnya banyak yang mati terinjak-injak.

Ini bukan kematian karena bentrokan antara pendukung tim lawan.

FIFA, yang sudah berpengalaman dengan kerusuhan sepak bola di stadion, sudah mempelajarinya. Di Peru tahun 1964, yang menyebabkan kematian lebih dari 300 orang, sebagian juga disebabkan oleh kepanikan massal akibat gas air mata.

Karena itu, FIFA melarang penggunaan gas air mata mengatasi kerusuhan sepakbola di stadion.

Kedua, Washington Post juga menuliskan jumlah penonton yang terlalu banyak, yang dibiarkan panitia. Kapasitas stadion hanya untuk 38 ribu penonton. Tapi panitia membiarkan stadion itu diisi oleh 42 ribu.

Dalam kondisi panik, jumlah manusia yang terlalu banyak yang bisa ditampung di satu lokasi, ikut menambah parah keadaan.

New York Times lebih menggali pengalaman pribadi penonton. Juga yang disorot penggunaan gas air mata oleh polisi.

Saya kutip agak panjang berita di New York Times.

“Joshua pergi ke stadion bersama istri dan 13 temannya, semuanya penggemar sepak bola Arema.

Bagi banyak dari mereka, kekalahan tim mereka sangat menghancurkan.  Itu hanya kekalahan kedua klub sejak 2019.”

“Perkelahian antara polisi dan para penggemar memicu ledakan pertama gas air mata yang ditembakkan sekitar pukul 10:30 malam.  Orang-orang berusaha untuk pergi saat itu. Tetapi petugas stadion telah menutup banyak pintu keluar. Soalnya di luar, penggemar  yang marah bentrok dengan polisi.”

“Kemudian pada pukul 11 ​​malam, pasukan keamanan tiba-tiba mulai menembakkan gas air mata  ke tribun penonton, kata Joshua.  “

“Itu mendorong ratusan orang untuk bergegas ke pintu keluar.  Penembakan gas air mata tidak berhenti selama satu jam.”

Joshua dan teman-temannya, duduk di V.I.P, tidak langsung terkena gas air mata.

Tetapi awan gas air mata yang melayang membuat banyak dari mereka sulit bernapas. Tembakan gas air mata tanpa henti menyebabkan kepanikan.

Setiap jalur exit untuk keluar stadion hanya memiliki lorong yang sempit. Untuk keluar, beberapa orang harus memanjat pagar setinggi sekitar lima meter. 

“Mereka sebenarnya berusaha keluar dari stadion untuk menghindari kekacauan. Tapi  mereka tidak bisa keluar.”

Joshua melihat seorang anak laki-laki berusia 13 atau 14 tahun menangis dan menjerit karena ketakutan.

Kebanyakan dari mereka yang meninggal adalah penonton di tribun, bukan mereka yang berada di lapangan.

Jika tidak ada tembakan gas air mata ke tribun penonton, tidak akan ada korban jiwa,” kata Joshua.  “Mereka panik dan satu-satunya pilihan mereka adalah keluar dari pintu keluar atau mencari perlindungan di lapangan.  

Joshua melihat orang-orang dibawa keluar dari stadion, pecahan kaca di mana-mana dan mobil dibakar.

Joshua menyatakan tidak bisa tidur malam itu. “Ketika saya menutup mata, saya mendengar suara-suara yang berteriak minta tolong.”

Ujar Joshua, “Saya tidak ingin menjadi pendukung sepak bola lagi.  Saya tidak ingin menonton pertandingan sepak bola Indonesia lagi.  Saya berharap sepak bola di Indonesia dihapuskan.”

-000-

Baik Washington Post ataupun New York Time tak memberitakan kemungkinan sanksi FIFA terhadap PSSI. 

Namun jumlah kematian yang terlalu banyak, jumlah penonton melampaui kapasitas, dan penggunaan gas air mata, ini membuat FIFA akan bertindak.

Sanksi apa yang akan dijatuhkan FIFA untuk Indonesia? Ada delapan sanksi yang mungkin dilakukan, mulai dari yang berat hingga ringan. (2)

Pertama:  Menghentikan pertandingan liga Indonesia selama 8 tahun.

Kedua:  Keanggotaan  Indonesia di FIFA dicabut, untuk sementara waktu.

Ketiga: Piala Dunia U-20 di Indonesia yang menjadi tuan rumah akan dibatalkan.

Keempat: Timnas Indonesia dilarang bermain di Piala Asia 2023 dan Piala Asia U-20 untuk sementara waktu. 

Kelima: Menurunkan Poin Ranking FIFA Timnas Indonesia. 

Timnas Indonesia yang saat ini menempati 152 dunia bisa turun lebih jauh.

Keenam:  Kompetisi Liga Indonesia  dibolehkan tapi tanpa penonton untuk sementara waktu.

Ketujuh:  Klub Indonesia dilarang bermain di Piala AFC dan Liga Champions Asia untuk sementara waktu.

Kedelapan: Memberikan warning sangat keras dan meminta PSSI membenahi diri.

Belum kita ketahui yang mana yang akan dijatuhkan FIFA. Penduduk Indonesia sangat gila bola. Makin berat sanksi FIFA, makin berat pula PSSI untuk bangkit kembali meningkatkan performance.

Di London, bersama dua anak saya yang juga gila bola, kami bercakap tentang Erling Haaland. Ia pemain bola dari Manchester City yang baru saja memecahkan rekor.

Ketika Mancity mengalahkan Manchester United 6-3, sehari setelah tragedi bola Indonesia, tanggal 2 Oktober 2022, Erling Haaland membuat  prestasi yang tak pernah terjadi dalam premier Inggris.

Tiga kali berturut-turut, Erling Haaland menciptakan hattrick, 3 goal dalam satu pertandingan. Usia Haaland masih sangat muda: 22 tahun (lahir tahun 2000).

Mungkin Haaland ini akan menjadi superstar bola sekelas Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo di masa datang.

Haaland diisukan pernah tinggal di Indonesia. Video Haaland ketika kecil memakai peci beredar luas dan viral. Ternyata itu hanya guyonan saja.

Lahirnya  pemain sepakbola asal Indonesia di kancah dunia, sehebat Erling Haaland seolah hal mustahil di Indonesia. 

Jarak antara ekosistem industri bola yang sehat, yang mampu melahirkan bintang bola sekelas Haaland, dengan kondisi sepak bola Indonesia di masa kini, terlalu jauh. Kian hari kian jauh jarak itu.

Tapi hidup tak pernah berhenti memberikan kejutan. Selalu hadir "the mission impossible". 

Salah satunya harapan ini:
tragedi bola di Indonesia  memberi efek balik yang kuat. Sanksi FIFA yang akan kita terima, jika ada, semoga justru menjadi titik awal kebangkitan sepakbola Indonesia.***

Oleh: Denny JA

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI