Bernasindonesia.com - Keputusan presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu yang baru diteken Presiden Joko Widodo adalah janji dan komitmen untuk memberi prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menambahkan bahwa pembentukan Keppres ini telah melalui proses pemikiran yang matang dan pembahasan yang panjang dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, tidak terkecuali korban pelanggaran HAM.
“Tim penyelesaian non-yudisial ini beranggotakan tokoh-tokoh yang berintegritas, kompeten dan memiliki pemahaman HAM yang memadai, dan merepresentasikan kelompok yang bisa menjamin tercapainya tujuan dikeluarkannya Keppres. Mereka juga akan melakukan pengungkapan kebenaran, rekomendasi reparasi dan mengupayakan ketidak berulangan, sejalan dengan mandat komisi kebenaran,” kata Jaleswari.
Jika mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban (victim centered), terang Deputi V di Kantor Staf Presiden (KSP).
Disamping itu, jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh.
Jaleswari juga menyanggah argumen yang menyatakan bahwa Keppres ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Kebijakan penyelesaian non-yudisial dimungkinkan dikeluarkan oleh Presiden sebagai sebuah executive measure karena urgensi dan kemendesakan pemenuhan hak korban dan keluarga korban.
Berbagai studi juga menjelaskan bahwa beberapa Komisi Kebenaran (Truth Commission) yang pernah ada di dunia dibentuk dengan melalui Executive Measure, di antaranya melalui Keputusan Presiden.
Perlu diketahui, sampai saat ini, terdapat 13 peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang belum yang belum terselesaikan dengan 9 peristiwa diantaranya merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
“Dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya,” pungkas Jaleswari.