Bernasindonesia.com -Tentang kepeloporan pemuda Indonesia, Bennedict Anderson mencatat: "Akhirnya, saya percaya bahwa watak khas dan arah revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh ’kesadaran pemuda’ ini.”
Kesadaran revolusioner kaum muda itu tidaklah jatuh dari langit, melainkan sengaja diusahakan melalui penaburan benih-benih kecerdasan yg disemai di ruang publik. Memasuki dekade kedua abad ke-20, generasi baru, yg terdidik secara baru, melahirkan kesadaran baru bahwa untuk masa yg panjang bangsa terjajah hidup bak katak dlm tempurung; dan tempurung itu dipercaya sbg langit luas. Mereka melihat dgn mata sendiri kesengsaraan yg diderita massa rakyat, dan menyadari sepenuhnya bahwa ”senjata” lama dgn impian ratu adilnya tak lagi memadai sbg sarana perjuangan.
Generasi baru tampil dgn menawarkan “senjata” baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yg baru. Senjata itu bernama kecerdasan dan ilmu (ideologi). Manakala elemen kemapanan menyeru pd ”kejumudan” dan “kesempitan”, kaum muda menerobosnya dgn menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme yg lebar dan inklusif. Dengan kecerdasan dan ideologi, generasi baru menyadari bahwa rakyat Indonesia dgn pecahan-pecahan yg banyak dan beraneka tak mungkin bisa dijumlahkan jadi kebersamaan jika tak memiliki “bilangan penyebut” yg sama.
Perjuangan dari keragaman posisi subjek memerlukan titik temu. Penyebut bersama sebagai titik temu itu mereka temukan dlm nama Indonesia, dgn imaji komunitas bersama yg dikonstruksikan melalui Sumpah Pemuda.
Dalam menggagas imaji kebangsaan baru itu, Sumpah Pemuda berisi kecerdasan pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis dan status quois dari generasi tua, pemuda datang dgn etos kreatif. Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968), bersendikan kecerdasan dgn kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko, hingga memiliki kemampuan utk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yg lebih baik.
Oleh: Yudi Latif