Bernasindonesia.com - Manuver politik yang intens itu seperti drama di panggung. Ia memerlukan gong penutup sebagai penanda. Pernyataan Jokowi tanggal 5 April 2022 itu pun dapat diartikan sebagai gong penutup drama “Penundaan Pemilu Dan Presiden 3 Periode.”
Ujar Jokowi, yang dikutip banyak media, “Jangan ada lagi jajarannya yang menyuarakan penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden.” Pernyataan itu Jokowi nyatakan di hadapan para menteri dalam sidang kabinet paripurna.
Para menteri diminta fokus menangani kesulitan yang dihadapi rakyat saat ini.
-000-
Tanpa pernyataan Jokowi pun, manuver perpanjangan pemilu dan presiden 3 Periode sebenarnya sudah dikalahkan.
Manuver penundaan pemilu dan presiden 3 periode itu memang begitu kuat bergema. Publikasinya besar karena isu itu seksi dan sensasional. Terasa ada orkestrasi yang dikerjakan secara masif dan sistematis.
Namun kekuatan itu tak cukup besar untuk mampu melakukan amandemen mengubah aturan konstitusi: Pemilu setiap lima tahun dan Presiden 2 Periode.
Hadir kekuatan yang lebih besar lagi yang melawan manuver penundaan pemilu dan presiden 3 periode.
Mayoritas publik anti manuver itu. Mayoritas anggota MPR/DPR anti pula manuver itu.
Mengapa mayoritas publik dan partai anti manuver penundaan pemilu dan presiden 3 periode?
Tiga penyebabnya. Pertama, tak ada alasan genting mengapa pemilu harus ditunda. Tak ada pula riset dan argumen kokoh bahwa jabatan presiden 3 periode pasti lebih baik dibanding jabatan presiden 2 periode saja.
Tanpa alasan yang genting dan kuat, manuver itu terasa hanya memiliki kepentingan politik jangka pendek: memanjangkan kekuasaan Jokowi.
Tak ada gagasan kuat yang misalnya bersentuhan dengan isu kemajuan bangsa, isu hak asasi manusia, atau isu inovatif yang sesuai dengan peradaban modern.
Yang hadir justru isu yang kuno. Menunda pemilu misalnya menjadi kuno karena melawan sila pertama demokrasi: bahwa pemilu yang reguler dan tepat waktu adalah prasyarat konsolidasi demokrasi.
Presiden 3 periode juga tak kalah kunonya. Tak ada daya tarik dari isu itu yang berhubungan dengan peradaban modern. Presiden 3 periode tak ada bukti empirik ataupun argumentatif lebih baik daripada presiden 2 periode dari sisi pembatasan, efektivitas kekuasaan, ataupun pemerintahan yang bersih.
Kedua, sistem politik yang sehat memerlukan sirkulasi kepemimpinan nasional. Jabatan 2 periode presiden itu kompromi optimal hasil trial and error 162 tahun Amerika Serikat. Sudah ada contoh negara besar yang sukses dengan presiden 2 periode saja.
Tapi tak ada contoh negara yang sukses dengan presiden 3 periode !
Amerika Serikat memang pertama kali memiliki jabatan presiden sebagai pemimpin pemerintahan. Presiden di Amerika Seikat memang presiden pertama yang pernah ada dalam sejarah dunia.
George Washington terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat di tahun 1789. Saat itu seluruh dunia hanya memiliki raja atau ratu sebagai jabatan politik tertinggi.
Di tahun 1951, konstitusi Amerika Serikat pun diamandemen. Pertama kalinya, konstitusi hanya membolehkan presiden menjabat 2 periode saja.
Amandemen itu lahir setelah pengalaman 1789- 1951 (162 tahun).
Bagaimanapun, dalam politik ada pula jenjang karir. Menjadi presiden itu jenjang karir tertinggi seorang politisi. Berdasarkan trial and error di Amerika Serikat, sistem presiden 2 periode saja dianggap cukup ideal.
Di satu sisi, dua periode dianggap waktu yang cukup panjang bagi seorang presiden membuat program untuk mengubah kualitas hidup masyarakatnya. Di sisi lain, dua periode itu juga menjadi masa tunggu yang cukup pendek agar antrian politik untuk menjadi presiden bagi elit lain tersalurkan dengan baik.
Ketiga, tahun- tahun ini bukan momentum yang tepat untuk melakukan amandemen konstitusi. Apalagi amandemen penundaan pemilu atau jabatan presiden 3 periode yang sangat sensitif dan membelah masyarakat.
Pukulan ekonomi akibat dua tahun pandemik sangat terasa. Rakyat banyak seperti rumput kering, yang mudah sekali terbakar.
Memperpanjang manuver penundaan pemilu atau presiden 3 periode hanya memberi bensin bagi terbakarnya rumput kering.
Penguasa mana pula yang sangat menghadapi kemarahan publik luas yang didukung civil society dan partai politik yang sepaham? Apalagi manuver penundaan pemilu dan presiden 3 periode mudah sekali dikemas menjadi kepentingan oligarki elit politik dan ekonomi saat ini belaka.
Jokowi tentu mengetahui situasi di atas. Pernyataan Jokowi tanggal 5 April itu adalah realisme politik. Manuver penundaan pemilu dan presiden 3 periode memang sudah kempes. Ia tak lagi bisa dipompa.
Buku ini berjudul: Ketika Menunda Pemilu 2024 Menjadi Skandal Politik (2022). Ia kumpulan transkripsi 24 video orasi saya di aneka webinar.
Satu dari transkripsi itu mengupas tuntas inside story di balik isu penundaan pemilu dan presiden 3 periode.
Dalam webinar itu dan esai yang sudah saya publikasi jauh hari sebelumnya, sudah pula saya katakan. Ketika kekuatan manuver penundaan pemilu dan presiden 3 periode pada puncaknya, saya justru paparkan data bahwa manuver itu segera layu sebelum berkembang. ****
Oleh: Denny JA