Bernasindonesia.com - Siapa yang menduga? Goa di bukit Neander, Jerman, tahun 1856, mengubah pandangan kita tentang peradaban, sejarah manusia, agama dan narasi besar makna hidup. (1)
Di tahun itu, di lokasi itu, ditemukan aneka fosil. Para ahli kemudian menamakan fosil itu Homo Naenderthal.
Mahluk itu juga manusia. Diketahui kemudian, spesies ini sudah menggunakan baju. Mereka juga sudah mampu memanipulasi api, menghidupkannya dari bahan lain. Dan yang lebih istimewa, mereka juga sudah mulai mengembangkan ritus kepercayaan.
Tapi Homo Naenderthal bukanlah manusia yang hidup di masa kini. Mereka sudah punah sekitar 40 ribu tahun lalu. Yang kini hidup jenis manusia Homo Sapiens. Banyak perbedaan fisik antara Homo Naenderthal dengan Homo Sapiens.
Perbedaan terpenting dari Homo Naenderthal dan Homo Sapiens dalam tahap evolusi. Homo Naenderthal keburu punah ketika mereka baru di tahap kegiatan memburu.
Sedangkan homo sapiens hidup lebih panjang, melewati tahap berburu, masuk ke era pertanian, bermukim panjang di satu wilayah, dan abrakadabra: terciptalah peradaban.
Tapi baik Homo Sapiens dan Homo Naenderthal sama sama sempat hidup di satu masa, bersinggungan selama 160 ribu tahun (200 ribu tahun lalu sampai 40 ribu tahun lalu). Dua jenis manusia ini sama sama mengembangkan bentuk ritus paling primitif: Animisme.
Inilah agama paling primitif, paling awal, yang dialami spesies manusia. Ritus pertama agama yang dikenal manusia, baik Homo Sapiens ataupun Homo Naenderthal adalah ritus kematian.
Awal dari evolusi agama terjadi seratus ribu tahun lalu. Ditemukan pemakaman dengan fosil Homo Naenderthal. Di antara sisa fosil tulang, terdapat pula sisa fosil bunga-bungan dan benda berharga lain. (2)
Saat itu, 100 ribu tahun lalu, Homo Nandearthal dan Homo Sapiens sudah mencari makna. Apakah hanya ada kehidupan di bumi ini? Apakah ada kehidupan lain setelah kematian? Apa yang terjadi dengan Ayah dan Ibu kami yang mati, yang kami sayangi, yang selama ini melindungi kami?
Berkembanglah narasi besar pertama yang paling primitif. Bahwa alam ini berjiwa. Laut, gunung, sungai, batu besar, matahari, bulan, pohon besar, semua berjiwa.
Lebih dari berjiwa, alam ini dijaga oleh jiwa yang suci. Persembahan harus diberikan. Sesajian harus diserahkan. Itu semua agar jiwa yang suci lebih melindungi, mengurangi aneka derita dan musibah. Lebih dari itu, jiwa suci akan pula menjaga anggota keluarga yang mati.
Kepercayaan ini menjadi ekstrem pada sebagian suku primitif itu. Jiwa suci dibalik fisik gunung, laut, matahari, batu besar, pohon besar diberhalakan. Di beberapa suku bahkan manusia mengorbankan manusia lain untuk menyenangkan sang Jiwa Suci.
-000-
Itulah gambaran Animisme Lama. Siapa yang menduga, kini hidup lagi filosofi Anisme itu, di abad 21, ditafsir ulang dan menjadi Animisme Baru (New Animism)
Animisme Baru ini berkembang menjadi pandangan yang justru sangat modern. Paham ini memahami lingkungan kita, gunung, pohon, sungai, alam lingkungan memiliki jiwa. Mereka semua anggota keluarga kita. (3)
Tentu berbeda dengan Animisme Lama, lingkungan itu tidak diberhalakan. Tapi limgkungan hidup itu tidak juga dirusak seperti yang dilakukan peradaban modern. Lingkungan alam itu perlu dirawat, disayangi, seperti kita merawat anggota keluarga.
Jika anggota keluarga kita sedih, sakit, dianiaya, kitapun akan sedih. Hal yang sama terjadi pada paham Animisme Baru itu. Jika kita merusak pohon dan hutan, jika mengotori sungai dan telaga, jika kita menganiaya udara, padahal mereka anggota keluarga, kita pun seharusnya sedih.
Paham Animisme hidup lagi di zaman modern, namun paham yang sudah ditafsir ulang. Jika meluas, paham ini justru membuat kita lebih mencintai lingkungan, dan merawatnya. Lingkungan hidup akan lebih sehat dan asri.
-000-
Pengantar di atas hanyalah ilustrasi betapa sistem kepercayaan, agama, narasi besar itu memiliki seribu nyawa. Bahkan kepercayaan paling primitif seperti Animisme bisa hidup lagi, jika ditafsir ulang agar sesuai dengan perkembangan mutakhir kesadaran manusia.
Tak heran jika hingga hari ini, kita memilki 4300 agama. (4) Masing masing agama di samping kesamaannya, pasti pula ada perbedannya dalam ritus, filosofi dan ajaran detail.
Masing masing penganut yang fanatik, pastilah merasa hanya agamanya yang benar dan 4299 agama lain salah. Masing masing penganut yang fanatik pasti pula merasa agamanya yang terakhir, dan tidak direvisi oleh agama yang lebih baru. Masing- masing penganut yang fanatik niscaya pula meyakini pendiri agamanya lebih lebih bisa dipercaya dibanding pendiri agama lain.
Kita sudah sampai pada peradaban yang menerima dan membolehkan masing masing 4300 agama itu membuat klaim apapun. Mereka bahkan boleh mendakwahkannya. Yang dilarang hanyalah jangan ada paksaan dan kekerasan.
Mengapa bisa tumbuh 4300 agama yang berbeda- beda? Umumnya agama itu bisa bertahan lama. Sangat lama.
Zoroaster misalnya, agama Monoteisme paling tua, lebih tua dari Judaisme, yang pertama memperkenalkan konsep malaikat, yang pertama memperkenalkan ritual lima kali sehari, sudah hadir sejak 10 ribu tahun lalu. Kini Zoroaster masih hidup terutama di Iran dan India. (5)
Ada lima alasan tumbuh dan bertahannya 4300 agama.
Pertama, setiap keyakinan memiliki potensi untuk ditafsir ulang. Jika pada satu masa, praktek keagamaan tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, maka ajaran agama itu bisa ditafsir secara berbeda.
Kisah Paham Animisme di awal tulisan ini menjadi contoh. Paham yang awalnya sangat primitive, memberhalakan benda mati, kini ditafsir ulang justru sangat modern, sesuai dengan filsafat pecinta lingkungan hidup.
Agama yang kini bertahan juga pernah melewati zaman perbudakan, zaman menomor duakan wanita. Di era itu, tafsir agama yang dominan juga yang sesuai dengan kesadaran zaman.
Ketika perbudakan dihapuskan, ajaran agama ditafsir ulang. Ketika datang era emansipasi wanita, tafsir agama juga direvisi. Agama membuka ruang yang luas untuk tafsir.
Tak heran dalam satu agama bisa berkembang begitu banyak tafsir yang berbeda- beda dari yang paling konservatif hingga paling liberal.
Tak heran, agama tak mati mati walau kini ingin dihancurkan oleh fakta ilmiah.
-000-
Kedua, keyakinan itu tidak tergantung pada fakta yang sebenarnya. Apapun fakta yang ada, ia bisa diabaikan karena keyakinan tersebut dianggap penganutnya sudah memberi penjelasan yang memuaskan.
Contoh paling sederhana adalah perbedaan keyakinan atas satu fakta dan peristiwa yang sama. Umat Kristen meyakini Yesus itu disalib, mati dan bangkit. Fakta ini fundamental bagi ajaran Kristen. (6)
Sementara Umat Islam meyakini yang disalib itu bukan Yesus (Nabi Isa). Yang disalib adalah pribadi lain yang disamarkan sebagai Nabi Isa (Yesus). (7)
Secara fakta, mustahil dua duanya benar. Hanya satu yang mungkin benar. Apakah Yesus (Nabi Isa) benar disalib atau tidak disalib. Apakah Yesus benar mati disalib, atau tidak mati di salib. Salah satu pasti salah secara faktual.
Tapi lihat apa yang terjadi. Baik keyakinan penganut Kristen ataupun penganut Islam tetap bisa meyakini fakta yang saling bertentangan. Hingga hari ini, penganut Kristen meyakini Yesus mati disalib. Hingga hari ini penganut Islam menyakini yang mati di salib bukan Yesus (Nabi Isa).
Keyakinan agama memang tidak tergantung pada fakta yang sebenarnya.
Hal yang sama dengan kisah dan fakta Nabi Ibrahim (Abraham). Baik Kristen dan Islam meyakini, Ibrahim memiliki anak bernama Ismail dan Ishak. Anak yang mana yang sebenarnya dikorbankan oleh Ibrahim?
Penganut Kristen meyakini yang rencama dikorbankan adalah Ishak. (8) Sebaliknya penganut Islam meyakini yang akan dikorbankan adalah Ismail. (9) Secara fakta, mustahil dua duanya benar.
Tapi baik penganut kristen dan penganut Muslim tetap bisa bertahan dengan keyakinan atas fakta yang berbeda, yang salah satunya pasti salah. Hingga hari ini setiap Idul Adha, penganut Islam meyakini yang akan dikorbankan adalah Ismail. Sementara hingga hari ini pula penganut Kristen meyakini yang akan dikurbankan adalah Ishak.
Dua contoh di atas membuka mata mengenai realitas dunia keyakinan. Bahwa keyakinan atas fakta yang salah itu (entah yang mana) bisa bertahan lebih dari seribu tahun hingga kini. Fakta yang salah itu (entah yang mana), bisa diyakini oleh lebih dari satu milyar manusia hingga sekarang.
Ketiga, keyakinan itu memberikan meaning of life. Bagi sebagian besar manusia, hidup yang bermakna itu puncak dari segala. Ketika datang derita. Ketika sedang datang musibah. Ketika membutuhkan harapan. Agama memberikan makna.
Dalam dua ribu tahun peradahan, terbukti agama lebih mampu memberikan makna dan kekuatan bagi derita dan musibah.
Para ahli neuroscience mulai meneliti asal muasal perasaan bermakna, keharuan, dan kekudusan yang dialami manusia.
Seorang Muslim yang taat bisa menetes air mata menyeru Allah di depan kabah. Rasa haru yang sama dialami seorang Kristen di Betlehem merenungkan Yesus. Kekudusan serupa juga dialami penganut Yahudi di depan dinding ratapan.
Penganut dari 4300 agama menemukan makna, keharuan dan kedalaman yang sama, walau ritusnya berbeda, konsep Tuhannya berbeda, doktrin agama berbeda.
Kemampuan memberikan makna, bukan kebenaran faktual, yang membuat mayoritas agama bertahan, dan kini berjumlah 4300.
-000-
Keempat, keyakinan itu diwariskan dengan narasi reward and punishment (berkah bagi yang taat dan musibah bagi penyimpang). Tak ada warisan dari orang tua yang paling awal diberikan kepada putra dan putrinya dibandingkan agama.
Tak lama ketika bayi menangis pertama kalinya, ketika keluar dari kandungan, umumnya saat itu pula, ia mendapatkan dua hal sekaligus dari orang tua. Ia mendapatkan nama. Ia juga diwariskan agama.
Ia yang dilahirkan oleh orang tua yang Muslim di wilayah yang mayoritasnya Muslim, hampir 100 persen juga diwariskan agama Muslim. Mereka yang lahir dari orang tua Kristen dan lahir di negara yang Mayoritasnya Kristen, hampir 100 persen juga menjadi Kristen.
Hal yang sama terjadi pada 4300 agama lain.
Tak hanya diwariskan agama, umumnya anak- anak dididik untuk patuh pada agama warisan orang tua. Ada reward bagi kepatuhan atas agama yang diberikan itu, seperti pahala dan surga. Ada pula punishment bagi pelanggarnya, seperti dosa dan neraka.
Tradisi mewariskan agama dan kepercayaan ini terjadi sepanjang sejarah homo sapiens. Di beberapa tafsir, meninggalkan agama bahkan diancam dengan hukuman duniawi, seperti pembunuhan. (10)
Hanya sedikit sekali jika dihitung dengan prosentase, anak anak tumbuh dewasa yang bisa meninggalkan agama warisan orang tua. Apalagi jika anak itu berdiam di wilayah yang mayoritasnya beragama sama.
Dengan cara ini, banyak agama bertahan dari zaman ke zaman. Tapi mengapa bisa tumbuh banyak sekali hingga 4300 agama? Itu karena dalam satu agama bisa terpecah pada banyak sekali isme dan aliran.
Namun metode reward dan punishment soal ketaatan pada doktrin agama hanya efektif di negara yang otoriter, yang mendukung ketaatan itu. Di negara demokratis, yang menghargai hak asasi manusia, reward and punishment atas doktrin agama tak lagi efektif.
Kelima, pencarian makna tak pernah henti. Kebutuhan narasi untuk memahami hal- hal yang eksistensial melekat pada psikis manusia. Sementara pengalaman dan pengetahuan terus tumbuh dan berbeda.
Akar dari segala adalah keunikan setiap individu. Tak ada satu sidik jari yang sama. Tak satu susunan DNA yang persis sama pada individu. Ditambah dengan berbedanya pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, karakter dan bakat, beragam pula persepsi yang bisa dilahirkan.
Satu narasi yang memuaskan satu individu tak berlaku sama pada individu lain. Bahkan narasi yang memuaskan individu itu pada satu waktu tertentu, tak lagi memuaskan pada waktu lainnya karena individu itu mempunyai pengalaman dan pengetahuan baru.
Keragaman persepsi, pengalaman, pengetahuan manusia itu pula yang menjadi ibu dari lahirnya 4300 agama.
-000-
Mungkinkah dicari common denimonator dari 4300 agama itu? Mungkinkah dirumuskan perennial philisophy yang menyatukan kebutuhan dasar manusia?
Peradaban terus bergerak. Homo Sapiens berhasil menjadi satu satunya species manusia penghuni bumi. Homo yang lain, termasuk Homo Naenderthal sudah tersingkir.
Homo Sapiens juga sudah melewati aneka peradaban, mulai dari zaman perburuan, zaman menetap mengolah pertanian, hingga revolusi industri, revolusi abad digital.
Dunia spiritual tak pernah hilang dari pikiran homo sapiens. Animisme yang kuno dan sudah mati tetap dapat dihidupkan kembali. Ajaran kuno itu dimodifikasi, diberi kerangka baru, disesuaikan dengan mindset zaman mutakhir.
Bahkan agama kuno tetap dapat hadir, dirawat, memberikan makna, tidak sebagai agama, tapi sebagai sastra. Soal ini akan dibahas kemudian.
Dunia spiritual tak pernah hilang. Ia hanya berubah bentuk!
Oleh: Denny JA