Bernasindonesia.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satu langkah maju. Selama ini, penerapan pasal karet Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online (pasal asusila), represi legal warga yang mengkritik kebijakan (pasal defamasi), represi minoritas agama (ujaran kebencian), dan lain-lain.
“Kondisi ini membuat posisi saksi, korban, saksi pelaku, maupun pelapor menjadi semakin sulit”, ujar Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu.
Kritik tersebut berdasar praktik kecendrungan over criminalization dalam penerapan UU ITE. Metode penanganan perkara ITE lebih menekankan sanksi pidana, daripada respon kontrol sosial lainnya yang menekankan restorasi (pemulihan) dan mediasi. Sejumlah prinsip cost and benefit untuk menghindari kerugian dan konflik, prinsip kehati-hatian karena berpotensi pelanggaran hak dasar, dan menghidari penghukuman yang tidak berdasar (due process of law).
Berdasar data perlindungan ke LPSK tiga tahun terakhir (2017-2020), terdapat 31 kasus (68 orang) permohonan perlindungan atas jeratan UU ITE. Para pemohon perlindungan ada yang berstatus korban, pelapor, saksi dan tersangka. Beberapa perkara terkait pelanggaran kesusilaan, mencemarkan nama baik, atau untuk “membalas” laporan masyarakat atas sejumlah kasus korupsi, kekerasan sekual, sengketa lingkungan hidup, dan penganiayaan.
Beberapa perkara seperti penipuan, pemerasan, pengancaman, berita bohong, grooming, prostitusi online, dan kekerasan seksual (termasuk konten pornografi), serta SARA memang UU ITE masih relevan digunakan.
"Namun, di tengah polarisasi yang meningkat imbas dari pemilu, pada perkara yang bernuansa ”politis-horizontal” polisi juga perlu melihat lebih jauh pokok perkara yang terjadi, dan tidak mudah menerapkan UU ITE”, harap Edwin.
Dampak penerapan UU ITE secara hitam putih juga berakibat buruk bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Dari hasil laporan sejumlah survei lembaga demokrasi menunjukkan anjloknya indeks demokrasi Indonesia disebabkan kebebasan sipil yang menciut, khususnya karena efek UU ITE. Yang patut menjadi keprihatinan adalah posisi indeks demokrasi saat ini menempati urutan terendah kurun waktu 14 tahun terakhir. Artinya, kecacatan demokrasi yang dialami mesti menjadi refleksi bersama.
"Salah satu contoh penerapan UU ITE yang LPSK tangani adalah pengaduan Baiq Nuril. Ini salah satu bentuk di mana seorang korban pelecehan seksual malah dipidanakan karena dianggap mentrasmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan”, ujar Edwin.
Dalam hal proses penanganan perkara, sejumlah laporan terkait ”pencemaran nama baik melalui media elektronik” tetap berjalan dan bahkan proses perkaranya lebih cepat daripada kasus yang lebih awal dilaporkan oleh Pelapor/Korban. Dari data permohonan perlindungan LPSK, terdapat 20 kasus yang proses peradilannya terus bergulir. Edwin menilai penerapan UU ITE ini cenderung overcriminalization, dan rentan dipolitisasi.
“Keberadaan Pasal 27 juga bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU Nomor 31 Tahun 2014), yang menyatakan bahwa Saksi, Korban, Saksi pelaku dan/ atau Pelapor yang beriktikad baik, tidak dapat di tuntut secara hukum (pidana maupun perdata) atas kesaksian/ laporan yang telah diberikannya”, jelas Edwin.
Selain itu, penerbitkan SE Kapolri Nomor: SE/2/II /2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif adalah langkah sementara untuk menghentikan praktik penerapan pasal-pasal UU ITE yang dinilai melanggar nilai-nilai keadilan. Dalam SE tersebut mengutip sejumlah prinsip yang harus menjadi perhatian penyidik mengenai hukum pidana sebagai ultimum remidium (upaya paling akhir) dan agar mengdepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
LPSK berharap sbaiknya, SE Kapolri itu diikuti dengan adanya mekanisme monitoring dan evaluasi (monev) untuk memastikan penerapan SE tersebut dijalankan oleh seluruh aparat kepolisian. Misalnya terkait kendali perkara dan infrastruktur, ada baiknya penyidikan pada perkara ITE dilakukan Polda dan Mabes Polri, dan tidak oleh Polres/Polsek, mengingat unit siber Polri juga ada pada tingkat Polda dan Mabes.
“Hal ini tentu akan memudahkan Polri untuk melakukan monitoring atas penerapan UU ITE dan menekan penyalahgunaan penerapannya. Contohnya seperti Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang ada di level Polres ke atas”, ujar Edwin.
LPSK menilai saat ini adalah momentum yang tepat untuk meninjau ulang norma UU ITE. LPSK memberikan beberapa catatan terkait penerapannya. Pertama, revisi UU ITE perlu melihat adanya keterhubungan dengan Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014. Selama ini kerap terjadi ”serangan balik” dari pelaku atas sejumlah kasus korupsi dan kekerasan seksual dengan cara ”mengkriminalisasi” saksi dan pelapor. Dampaknya adalah tergerusnya peran serta masyarakat dalam membongkar kasus-kasus yang diduga merupakan kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat pada umumnya Ancaman balik dilakukan oleh pelaku dengan melaporkan pelapor/saksi dengan UU ITE.
“Hal tersebut biasanya dilakukan pelaku untuk menghentikan proses pelaporan yang disampaikan oleh pelapor atau saksi yang hendak memberikan keterangannya pada penegak hukum. Di sisi lain, praktik seperti ini membuat masyarakat enggan melapor jika mengetahui adanya dugaan korupsi atau bahkan jika jadi korban kekerasan seksual, ungkap Edwin.
Kedua, penyelesaian perkara tertentu dengan mekanisme restorative justice menjadi pilihan prosedur yang utama untuk memulihkan martabat para korban.
“Ada baiknya mekanisme diversi (penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana) menjadi salah satu model yang di kepedepankan pada perkara ITE terutama yang berdimensi sosial politik”, pungkas Edwin.