Bernasindonesia.com - Partai Golkar segera menghadapi suksesi di akhir tahun ini. Sebagai salah satu partai tertua dan terbesar di Indonesia, pergantian pemimpinnya menjadi perhatian masyarakat. Suksesi ini dihadapkan dengan tantangan, apakah parpol ini menguatkan demokrasi, atau sebaliknya.
Hal ini mengemuka dalam diskusinyang diselenggarakan Jenggala Center di Jakarta, (13/11). Beberapa pembicara yang hadir adalah Saiful Mujani dari SMRC, Hendri Satrio dari Kedai Kopi, dan Iskandar Mandji tokoh senior Golkar.
Sebagai pembicara pembuka, Saiful Mujani menyatakan bahwa tantangan partai politik kedepan adalah menghindari oligarki, nepotisme dan klientilisme.
Dalam era demokrasi ini, oligarki dan nepotisme akan membuat kekuatan partai terkonsentrasi pada sekelompok orang saja dan penghargaan diberikan bukan karena karya tapi karena preferensi personal. Hal ini jelas menghambat kemunculan kader baru yang nanti akan membahayakan sendiri keberlanjutan partai tersebut.
"Karena itu, harus ada kontestasi dalam internal partai. Karena jika tidak, akan terjadi oligarki dan nepotisme," ungkap Saiful.
Ketua SMRC ini mengatakan bahwa Golkar saat ini cukup terbebas dari dua hal tersebut. Sebab kontestasi yang ada di dalam Golkar menjelang suksesi Di Munas 2009 nanti, banyak nama muncul seperti Airlangga dan Bamsoet. Golkar, bagi Saiful, bisa menjadi contoh partai lain untuk menghindari oligarki dan nepotisme.
Namun, Golkar masih memiliki masalah dengan klientilisme. Artinya, siapa yang memiliki uang, mereka lah yang akan menguasai partai.
Bertahannya Golkar hingga kini mewujudkan bahwa pergantian pimpinan terus berjalan. Namin, masih dikuasai mereka yang memiliki uang.
"Hal itu (klientilisme) masih menjadi catatan bagi Golkar," ujar Saiful. Ia menambahkan bahwa klientilisme ini bisa makin pelik jika uang yang menjadi patron dalam masalah ini bersumber dari luar partai.
Hendri Satrio, sebagai pembicara kedua menyampaikan bahwa terdapat beberapa tantangan parpol, khususnya Golkar sebagai salah satu partai mayoritas, dalam era Indonesia demokratis ini.
Bagi co founder Kedai Kopi ini, sikap Golkar selalu menjadi perhatian publik termasuk pemerintah. Dalam beberapa hal misalnya, alokasi dana partai, pilkada langsung vis a vis tak langsung, dan amandemen konstitusi.
Suara Golkar sebagau mayoritas dan sebagai koalisi pemerintah menjadi penentu penting arah perkembangan isu di Indonesia. Sebagai contoh jika Golkar akan terus mendorong pilkada langsung, akan menjadi penguat demokrasi yang telah berjalan saat ini, dan sebaliknya.
Terakhir, Iskandar Mandji menegaskan bahwa meski sudah diungkapkan bahwa Golkar relatif bebas dari oligarki, kaderisasi menjadi polemik pelik di dalam Golkar.
Bagi tokoh senior Golkar ini, kaderisasi persis berakhir setelah Jusuf Kalla turun dari kursi ketua umum partai tersebut. Baginya, dulu kader Golkar ada sampai level mahasiswa. Saat ini, parpol secara umum perlu memperhatikan kaderisasi ini, sebab jika tidak, peran parpol sebagai pengawal demokrasi akan memudar.
Iskandar menambahkan bahwa tantangan lainnya bagi Golkar adalah terlalu banyak faksi dalam Golkar dan kurangnya sosok pemimpin tegas di dalam partai.
Baginya, manajemen partai di Indonesia perlu menjadi perhatian publik, tidak terkecuali partai Golkar. Manajemen partai yang baik akan menciptakan sistem kaderisasi yang demokratis - tidak elitis, dan mampu menghadirkan karakter partai yang jelas.
Terkait suksesi Golkar yang akan datang, Iskandar mengharapkan agar partai ini dapat menjaring pemimpin yanh kuat, muda dan memiliki profesionalisme. Selain itu, karakter Golkar adalah berkarya dan mendukung kebijakan pemerintah. Baginya saat ini hal itu belum muncul dengan kuat.
"Jangan sampai Ketua Golkar hanta orang yang tahu politik saja. Harus tokoh yang punya profesionalisme dan bisa bekerja sama dengan pemerintah," ujar Mantan Wasekjen Golkar ini. (BSI)
Hal ini mengemuka dalam diskusinyang diselenggarakan Jenggala Center di Jakarta, (13/11). Beberapa pembicara yang hadir adalah Saiful Mujani dari SMRC, Hendri Satrio dari Kedai Kopi, dan Iskandar Mandji tokoh senior Golkar.
Sebagai pembicara pembuka, Saiful Mujani menyatakan bahwa tantangan partai politik kedepan adalah menghindari oligarki, nepotisme dan klientilisme.
Dalam era demokrasi ini, oligarki dan nepotisme akan membuat kekuatan partai terkonsentrasi pada sekelompok orang saja dan penghargaan diberikan bukan karena karya tapi karena preferensi personal. Hal ini jelas menghambat kemunculan kader baru yang nanti akan membahayakan sendiri keberlanjutan partai tersebut.
"Karena itu, harus ada kontestasi dalam internal partai. Karena jika tidak, akan terjadi oligarki dan nepotisme," ungkap Saiful.
Ketua SMRC ini mengatakan bahwa Golkar saat ini cukup terbebas dari dua hal tersebut. Sebab kontestasi yang ada di dalam Golkar menjelang suksesi Di Munas 2009 nanti, banyak nama muncul seperti Airlangga dan Bamsoet. Golkar, bagi Saiful, bisa menjadi contoh partai lain untuk menghindari oligarki dan nepotisme.
Namun, Golkar masih memiliki masalah dengan klientilisme. Artinya, siapa yang memiliki uang, mereka lah yang akan menguasai partai.
Bertahannya Golkar hingga kini mewujudkan bahwa pergantian pimpinan terus berjalan. Namin, masih dikuasai mereka yang memiliki uang.
"Hal itu (klientilisme) masih menjadi catatan bagi Golkar," ujar Saiful. Ia menambahkan bahwa klientilisme ini bisa makin pelik jika uang yang menjadi patron dalam masalah ini bersumber dari luar partai.
Hendri Satrio, sebagai pembicara kedua menyampaikan bahwa terdapat beberapa tantangan parpol, khususnya Golkar sebagai salah satu partai mayoritas, dalam era Indonesia demokratis ini.
Bagi co founder Kedai Kopi ini, sikap Golkar selalu menjadi perhatian publik termasuk pemerintah. Dalam beberapa hal misalnya, alokasi dana partai, pilkada langsung vis a vis tak langsung, dan amandemen konstitusi.
Suara Golkar sebagau mayoritas dan sebagai koalisi pemerintah menjadi penentu penting arah perkembangan isu di Indonesia. Sebagai contoh jika Golkar akan terus mendorong pilkada langsung, akan menjadi penguat demokrasi yang telah berjalan saat ini, dan sebaliknya.
Terakhir, Iskandar Mandji menegaskan bahwa meski sudah diungkapkan bahwa Golkar relatif bebas dari oligarki, kaderisasi menjadi polemik pelik di dalam Golkar.
Bagi tokoh senior Golkar ini, kaderisasi persis berakhir setelah Jusuf Kalla turun dari kursi ketua umum partai tersebut. Baginya, dulu kader Golkar ada sampai level mahasiswa. Saat ini, parpol secara umum perlu memperhatikan kaderisasi ini, sebab jika tidak, peran parpol sebagai pengawal demokrasi akan memudar.
Iskandar menambahkan bahwa tantangan lainnya bagi Golkar adalah terlalu banyak faksi dalam Golkar dan kurangnya sosok pemimpin tegas di dalam partai.
Baginya, manajemen partai di Indonesia perlu menjadi perhatian publik, tidak terkecuali partai Golkar. Manajemen partai yang baik akan menciptakan sistem kaderisasi yang demokratis - tidak elitis, dan mampu menghadirkan karakter partai yang jelas.
Terkait suksesi Golkar yang akan datang, Iskandar mengharapkan agar partai ini dapat menjaring pemimpin yanh kuat, muda dan memiliki profesionalisme. Selain itu, karakter Golkar adalah berkarya dan mendukung kebijakan pemerintah. Baginya saat ini hal itu belum muncul dengan kuat.
"Jangan sampai Ketua Golkar hanta orang yang tahu politik saja. Harus tokoh yang punya profesionalisme dan bisa bekerja sama dengan pemerintah," ujar Mantan Wasekjen Golkar ini. (BSI)