Bernasindonesia.com - Keberhasilan pendidikan di suatu negeri akan menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM ini akan menentukan kemajuan dan keunggulan suatu negeri. Maka arah pendidikan sangat menentukan output yang akan dihasilkan.
Di pemerintahan Pak Jokowi jilid II, nampakanya ada sesuatu yang ingin ditinjolkan oleh rezim ini. Namun justru ada yang split di sana. Patutlah publik terkejut dengan terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab sosok yang lebih terkenal sebagai founder go-Jek ini termasuk pemain baru dalam perpolitikan Indonesia. Namun, nampaknya ada hal lain yang menjadikan presiden menentukan pilihan padanya.
Memang, Nadiem Makarim memiliki pencapaian yang luar biasa di dunia entrepreneur dengan membuat lapangan kerja baru kepada rakyat Indonesia yang cukup luas. Hal tersebut menjadi nilai jual sehingga membuatnya “dianggap” pantas untuk menjabat sebagai kemendikbud. Nadiem dianggap sebagai sosok yang cocok menjalankan visi misi presiden terpilih yakni output dari pendidikan Indonesia diarahkan untuk mencetak SDM yang siap kerja.
Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Jokowi dalam momen pengenalan calon menteri di Istana Merdeka (23/10), bahwa tugas Nadiem ke depan adalah menyiapkan SDM-SDM yang siap kerja, siap berusaha, dan me-link and match antara pendidikan dan industri. Dengan kata lain, arah pendidikan saat ini difokuskan untuk melahirkan manusia-manusia yang siap kerja bagi industri.
Siapa mereka yang dikatakan siap kerja? Mereka adalah buruh, pekerja, yang mengabdi pada industri atau pabrik. Padahal ini sangat memprihatikan jika kualitas anak bangsa hanya dinilai dari sekedar "pekerja". Sebagai contoh go-jek, banyak sarjana yang akhirnya terpaksa menjadi sopir go-jek. Padahal harusnya sarjana masuk ke dalam kategori ahli yang bukan hanya pekerja yang mengandalkan tenaga (fisik).
Jika merunut tujuan pendidikan nasional yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.“Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Harusnya ini menjadi titik fokus pendidikan di Indonesia. Meski tujuan pendidikan yang tertuang di sana belum ada titik terang keberhasilan. Bahkan kondisi anak didik semakin hari semkin memprihatinkan. Salah satunya adalah angka kriminalitas remaja yang semakin meningkat dari tahun ke tahun baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kita tentu belum lupa, kasus Audrey, dari Pontianak yang mengalami bullying dari siswi SMU pada bulan April 2019. Kemudian kasus pelajar yang menjadi mucikari bagi teman-temannya di Bengkulu pada Bulan Agustus 2019. Pelajar tersebut menjual teman-temannya hanya dengan imbalan uang ratusan hingga 1 juta rupiah saja. Dunia pendidikan tahun ini juga gempar dengan ratusan pelajar yang terpapar LGBT di Tulungagung (Agustus 2019) dan Mojokerto (September 2019). Berbagai persoalan ini tentu menyisakan keresahan berbagai pihak terutama orang tua dan guru.
Di tengah krisis perilaku dan kriminalitas siswa didik yang semakin meningkat, harusnya solusi perbaikan kepribadian siswa menjadi prioritas dunia pendidikan. Bukan justru difokuskan untuk tenaga siap kerja yang notabennya hanya sebagai buruh industri. Dari sini bisa dikatakan bahwa arah pendidikan kita sedang di persimpangan jalan.
Kerusakan kualitas generasi yang jauh dari generasi yang memiliki kepribadian yang unggul mustahil akan menjadikan Indonesia maju. Jika anak didik kita masih mengalami kerusakan moral yang sangat parah maka mustahil pula Indonesia akan bisa mendapatkan manfaat dan berjaya di puncak bonus demografi. Justru sebaliknya, jika anak didik masih dibiarkan untuk berperilaku hedonis, bergaul bebas, tidak dididik untuk membentuk kepribadian unggul maka bonus demografi akan menjadi bencana bagi Indonesia.
Bencana dengan mewabahnya penyakit menular seksual, bencana dimana pemuda dalam kondisi kesehatan yang buruk akibat rokok, minuman keras dan narkoba. Lalu apakah mungkin mereka akan siap kerja? Atau bahkan akan bisa menciptakan lapangan kerja yang bermafaat bagi masyarakat? Yang ada mereka akan menjadi beban dan pemicu kerusakan yang ada di masyarakat.
Maka, perlu diingat bahwa jangan sampai arah pendidikan ini hanya fokus pada ourput yang siap kerja. Namun bagaimana bisa memproses anak didik menjadi manusia yang berkepribadian yang unggul dan tangguh. Pendidikan merupakan bagian paling penting dalam peradaban manusia. Pendidikan ibarat pabrik yang akan memproduksi penerus peradaban beberapa tahun ke depan.
Hanya saja untuk membentuk kepribadian unggul kepada anak didik mustahil terwujud jika justru agama dijauhkan dari arah pendidikan kita. Sekulerisme yang telah manjadi asas pendidikan negeri ini nyata telah gagal mewujudkan generasi yang berkepribadian, berakhlak mulia dan berprestasi unggul. Apalagi jika saat ini justru arus islamophobia yang terus digelindingkan akan semakin menjauhkan ruh agama dari siswa didik di negeri yang mayoritas muslim ini. Lalu, apa masih berani berharap kualitas generasi yang unggul dan berakhlak mulia?
Patutlah, untuk melihat kembali peta kehidupan agar pendidikan kita yang berada di persimpangan jalan tidak semakin tersesat. Namun peta kehidupan tersebut hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki iman. Peta kehidupan tersebut hanya pula bisa diikuti oleh mereka yang meyakini bahwa setiap amal di dunia akan dimintai pertanggungjawaban. Ada adzab bagi mereka yang membuang jauh aturan Tuhan. Bagi perahu negeri ini, nahkoda yang memiliki ketakwaan saja yang akan menyelamatkan seluruh awak kapal. Takwa berarti melaksanakan seluruh aturan Ilahi dan menjauhi apa yang dilarangnya. Sudahkan ada hal tersebut pada nahkoda kita? Wallahu A’lam bi showab.
Oleh: Ifa Mufida
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Di pemerintahan Pak Jokowi jilid II, nampakanya ada sesuatu yang ingin ditinjolkan oleh rezim ini. Namun justru ada yang split di sana. Patutlah publik terkejut dengan terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab sosok yang lebih terkenal sebagai founder go-Jek ini termasuk pemain baru dalam perpolitikan Indonesia. Namun, nampaknya ada hal lain yang menjadikan presiden menentukan pilihan padanya.
Memang, Nadiem Makarim memiliki pencapaian yang luar biasa di dunia entrepreneur dengan membuat lapangan kerja baru kepada rakyat Indonesia yang cukup luas. Hal tersebut menjadi nilai jual sehingga membuatnya “dianggap” pantas untuk menjabat sebagai kemendikbud. Nadiem dianggap sebagai sosok yang cocok menjalankan visi misi presiden terpilih yakni output dari pendidikan Indonesia diarahkan untuk mencetak SDM yang siap kerja.
Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Jokowi dalam momen pengenalan calon menteri di Istana Merdeka (23/10), bahwa tugas Nadiem ke depan adalah menyiapkan SDM-SDM yang siap kerja, siap berusaha, dan me-link and match antara pendidikan dan industri. Dengan kata lain, arah pendidikan saat ini difokuskan untuk melahirkan manusia-manusia yang siap kerja bagi industri.
Siapa mereka yang dikatakan siap kerja? Mereka adalah buruh, pekerja, yang mengabdi pada industri atau pabrik. Padahal ini sangat memprihatikan jika kualitas anak bangsa hanya dinilai dari sekedar "pekerja". Sebagai contoh go-jek, banyak sarjana yang akhirnya terpaksa menjadi sopir go-jek. Padahal harusnya sarjana masuk ke dalam kategori ahli yang bukan hanya pekerja yang mengandalkan tenaga (fisik).
Jika merunut tujuan pendidikan nasional yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.“Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Harusnya ini menjadi titik fokus pendidikan di Indonesia. Meski tujuan pendidikan yang tertuang di sana belum ada titik terang keberhasilan. Bahkan kondisi anak didik semakin hari semkin memprihatinkan. Salah satunya adalah angka kriminalitas remaja yang semakin meningkat dari tahun ke tahun baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kita tentu belum lupa, kasus Audrey, dari Pontianak yang mengalami bullying dari siswi SMU pada bulan April 2019. Kemudian kasus pelajar yang menjadi mucikari bagi teman-temannya di Bengkulu pada Bulan Agustus 2019. Pelajar tersebut menjual teman-temannya hanya dengan imbalan uang ratusan hingga 1 juta rupiah saja. Dunia pendidikan tahun ini juga gempar dengan ratusan pelajar yang terpapar LGBT di Tulungagung (Agustus 2019) dan Mojokerto (September 2019). Berbagai persoalan ini tentu menyisakan keresahan berbagai pihak terutama orang tua dan guru.
Di tengah krisis perilaku dan kriminalitas siswa didik yang semakin meningkat, harusnya solusi perbaikan kepribadian siswa menjadi prioritas dunia pendidikan. Bukan justru difokuskan untuk tenaga siap kerja yang notabennya hanya sebagai buruh industri. Dari sini bisa dikatakan bahwa arah pendidikan kita sedang di persimpangan jalan.
Kerusakan kualitas generasi yang jauh dari generasi yang memiliki kepribadian yang unggul mustahil akan menjadikan Indonesia maju. Jika anak didik kita masih mengalami kerusakan moral yang sangat parah maka mustahil pula Indonesia akan bisa mendapatkan manfaat dan berjaya di puncak bonus demografi. Justru sebaliknya, jika anak didik masih dibiarkan untuk berperilaku hedonis, bergaul bebas, tidak dididik untuk membentuk kepribadian unggul maka bonus demografi akan menjadi bencana bagi Indonesia.
Bencana dengan mewabahnya penyakit menular seksual, bencana dimana pemuda dalam kondisi kesehatan yang buruk akibat rokok, minuman keras dan narkoba. Lalu apakah mungkin mereka akan siap kerja? Atau bahkan akan bisa menciptakan lapangan kerja yang bermafaat bagi masyarakat? Yang ada mereka akan menjadi beban dan pemicu kerusakan yang ada di masyarakat.
Maka, perlu diingat bahwa jangan sampai arah pendidikan ini hanya fokus pada ourput yang siap kerja. Namun bagaimana bisa memproses anak didik menjadi manusia yang berkepribadian yang unggul dan tangguh. Pendidikan merupakan bagian paling penting dalam peradaban manusia. Pendidikan ibarat pabrik yang akan memproduksi penerus peradaban beberapa tahun ke depan.
Hanya saja untuk membentuk kepribadian unggul kepada anak didik mustahil terwujud jika justru agama dijauhkan dari arah pendidikan kita. Sekulerisme yang telah manjadi asas pendidikan negeri ini nyata telah gagal mewujudkan generasi yang berkepribadian, berakhlak mulia dan berprestasi unggul. Apalagi jika saat ini justru arus islamophobia yang terus digelindingkan akan semakin menjauhkan ruh agama dari siswa didik di negeri yang mayoritas muslim ini. Lalu, apa masih berani berharap kualitas generasi yang unggul dan berakhlak mulia?
Patutlah, untuk melihat kembali peta kehidupan agar pendidikan kita yang berada di persimpangan jalan tidak semakin tersesat. Namun peta kehidupan tersebut hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki iman. Peta kehidupan tersebut hanya pula bisa diikuti oleh mereka yang meyakini bahwa setiap amal di dunia akan dimintai pertanggungjawaban. Ada adzab bagi mereka yang membuang jauh aturan Tuhan. Bagi perahu negeri ini, nahkoda yang memiliki ketakwaan saja yang akan menyelamatkan seluruh awak kapal. Takwa berarti melaksanakan seluruh aturan Ilahi dan menjauhi apa yang dilarangnya. Sudahkan ada hal tersebut pada nahkoda kita? Wallahu A’lam bi showab.
Oleh: Ifa Mufida
(Pemerhati Kebijakan Publik)